Mencari Data di Blog Ini :

Friday, November 28, 2008

Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita? (3 of 3)

Lebih detail tentang kesombongan, al-Ghazali menerangkan bahwa kesombongan dibagi dua, yaitu kesombongan batin dan kesombongan zhahir. Kesombongan batin adalah kesombongan yang terdapat dalam hati, sedangkan kesombongan zhahir dilakukan oleh anggota tubuh.

Kesombongan batin lebih berbahaya, karena tingkah laku seseorang merupakan akibat dari yang terjadi di hatinya. Apabila seseorang mewujudkan kesombongannya dalam perbuatan, maka hal itu disebut takabbur (berlaku sombong), sedangkan jika hanya menyimpan di dalam hati tanpa ada tindakan disebut kibr (sifat sombong).

Menurut definisinya, kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan atau merendahkan orang lain.
مَنْ سَـفَهَ اْلحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ


(Orang sombong adalah) orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR Muslim)

Larangan Allah kepada kita untuk menjauhi kesombongan tercantum dalam Al-Qur’an al-‘Azhîm :
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فىِ ٱْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتـَالٍ فَخُـوْرٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqmân [31] : 18)

Jika kita terjangkit penyakit sombong berarti kita menggabungkan dalam diri kita kebodohan dan kebohongan. Kebodohan karena kita tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah sehingga akibat kebodohan, kita menduga dirinya besar. Kita juga melakukan kebohongan, karena dengan takabbur kita membohongi diri sendiri sebelum orang lain. Bukankah takabbur berarti membuat-buat kebesaran kepada diri yang pada hakikatnya tak pernah wujud?

Jika kita sombong maka kita menciptakan keburukan di atas keburukan. Kesombongan sendiri telah merupakan keburukan. Selanjutnya dengan sikap takabbur, sesungguhnya kita memaksa orang lain memendam rasa dendam dan antipati terhadap diri kita, bahkan menghina dan mencela kita. Kalau tidak di hadapan kita dengan suara keras, maka di belakang kita dengan suara sayup atau di dalam hati.

Jika kita sombong maka kita adalah manusia yang sangat tidak terpuji. Bagaimana mungkin kita sombong padahal asal kita adalah nuthfah dan akhirnya menjadi mayat tak berdaya, sedangkan masa antara awal dan akhir hidup kita selalu membawa (di dalam tubuh) urine serta kotoran yang berbau menusuk.

Manusia sombong harus disombongi, karena menyombongi orang sombong adalah sedekah. Ber-takabbur kepada mereka dimaksudkan agar yang bersangkutan menyadari dirinya dan tidak larut dalam keangkuhannya.
التَّكَـبُّرُ عَلَى الْمُتَكَـبِّرِ صَدَقَةٌ

Menyombongi orang sombong adalah sedekah.
Entah apa jadinya kehidupan ini jika semua orang telah terjangkit sifat sombong. Setiap orang saling melecehkan, tak ada lagi penghormatan kepada orang lain, hilanglah kewibawaan dan sopan santun terhadap orang lain.

Entah apa yang akan terjadi jika setiap orang menolak ketika kebenaran diperlihatkan. Semua orang tidak dapat saling memberikan pemahaman atau melakukan diskusi dengan baik, kecuali dengan cara memaksa.

Sama halnya mereka tidak dapat bersatu dalam kebenaran, mereka pun tidak dapat bersatu dalam kebatilan. Hukum rimbalah yang akan muncul, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang. Bersamaan dengan itu akan muncul gejala-gejala sosial seperti kezhaliman, emosi, pertengkaran, permusuhan, peperangan dan pelanggaran hak asasi. Itu semua berawal dari penyakit hati, yang masyhur dengan nama “sombong”.

Mari kita bersama-sama berusaha agar tidak terinfeksi penyakit “sombong” ini. Tak perlu kita mencari siapa orang yang di dalam hatinya terjangkit penyakit ini. Introspeksi diri harus didahulukan. Janganlah kita mudah menyalahkan orang lain akan tetapi kita tidak mau menyalahkan diri sendiri. Bukankah sudah kita pahami bersama kaidah “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsika)?”

Mungkin ada di antara kita yang mempertanyakan, “Mengapa saya harus menyalahkan diri sendiri? Bukankah hidup ini ada sistem yang juga melibatkan orang lain? Sebagai contoh, kalau saya mengantuk/tidur ketika khutbah, itu karena khatibnya tidak menguasai sosiologi dakwah. Begitu pun dengan tindakan-tindakan saya yang lain. Semua itu hanyalah reaksi akibat aksi yang saya terima dari lingkungan. Mengapa harus saya yang disalahkan? Mengapa bukan orang lain atau sistem yang ada?”

Sekadar menyalahkan orang lain apalagi mencari kambing hitam termasuk pekerjaan mudah. Kita tidak perlu sekolah untuk menumpahkan kesalahan pada orang lain. Anak kecil pun bisa melakukannya. Namun, tidakkah kita sadari bahwa hidup ini antara kita dan Allah? Bukankah di akhirat nanti, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan kita, bukan perilaku orang lain?

Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : "Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita?(2 of 3)"
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Wednesday, November 19, 2008

Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita? (2 of 3)

Salah satu penyakit yang harus dicuci bersih dari dalam hati kita yaitu ‘ujub. ‘Ujub adalah bangga terhadap diri sendiri, misalnya terhadap ibadah, ilmu, harta, kecantikan, kedudukan, kekuasaan dan sebagainya.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘ujub dibagi dua, yaitu :

  • ‘Ujub terhadap perbuatan yang dilakukan atas kehendak diri (dengan usaha), misalnya ilmu, ibadah, sedekah, memberikan kesejahteraan kepada umat, perang dan sejenisnya.
  • ‘Ujub terhadap apa-apa yang bukan atas kehendaknya sendiri seperti garis keturunan, warna kulit, ras dan lainnya.


‘Ujub jenis pertama lebih banyak dilakukan orang dibandingkan jenis kedua.

‘Ujub mempunyai anak yang juga termasuk penyakit hati, yaitu sombong. ‘Ujub tidak memerlukan orang lain, sedangkan sombong membutuhkan orang lain sebagai pembanding.

Jika kita terjangkit kedua penyakit ini, misalnya ‘ujub dan sombong karena ilmu, maka kita akan enggan bahkan tidak mau berdiskusi atau bermusyawarah dalam suatu masalah.

Kita lebih senang kepada pendapat sendiri walaupun salah daripada pendapat orang lain meskipun benar. Hal ini karena kita mengira ilmu yang kita miliki sudah lebih dari cukup. Karena alasan tersebut, bagi kita pendapat kitalah yang valid dan ilmiah.

Kita merasa hanya kitalah yang menuntut ilmu dengan benar, sedangkan orang lain meraih ilmu hanya asal-asalan dan tidak jelas juntrung-nya.

Kita susah sekali mendengar usulan pihak lain. Menurut kita, usulan orang lain—terlebih lagi jika posisi dia di bawah kita—hanyalah angin lalu atau sekadar sekilas info ringan yang tak perlu ditanggapi serius.

Kita pun malas bahkan tidak mau mendengar nasihat orang lain, terutama bila orang itu bukanlah orang yang kita segani, bukan bagian dari kelompok kita apalagi jika ia tidak kita sukai. Padahal, sebuah kaidah telah ditetapkan,

اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ

“Perhatikan apa yang diucapkan, dan jangan melihat siapa yang bicara.”

Kalimat-kalimat bijak pun telah disampaikan,


“Ambillah ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun harus memungutnya dari pinggir jalan.”


“Sebuah intan, walaupun keluar dari mulut binatang, tetaplah sebuah intan.”

خُذِ الْحِكْمَةَ وَلَوْ مِنْ فَهْمِ الْبَهَائِمِ

“Ambillah hikmah/ilmu sekalipun keluar dari mulut binatang”

‘Ujub merupakan sifat tercela, baik berdasarkan firman Allah SWT maupun sabda Rasulullah Muhammad saw.

…dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun… (QS at-Taubah [9]:25)

ثَلاَثُ مُهْلِكاَتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ


Tiga perkara yang membawa kepada kehancuran, yaitu pelit, mengikuti hawa nafsu dan suka membanggakan diri. (HR Thabari—hadits hasan)

إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا وَدُنْيَا مُؤَثَّرَةً وَإِعْجَابُ كُلِّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ فَعَلَيْكَ نَفْسَكَ


Apabila kamu berjumpa dengan seorang yang memperturutkan sifat pelit, mengumbar hawa nafsu, mengutamakan dunia dan selalu membanggakan pendapatnya sendiri, maka selamatkan dirimu. (HR Abu Daud)

Ibnu Mas’ud ra. menasihatkan, “Kehancuran seseorang apabila melakukan dua perkara, yaitu putus asa dan suka membanggakan diri.”

Ibnu Juraij berpesan, “Apabila kamu telah mengerjakan perbuatan baik, janganlah kamu katakan telah mengerjakannya.”

Basyar bin Manshur, salah seorang ahli ibadah yang selalu melakukan dzikir dan mengingat kehidupan akhirat, suatu hari melakukan shalat yang sangat lama. Di belakangnya ada seseorang yang melihat dan mengagumi ibadahnya.

Setelah selesai shalat, orang itu pun memujinya. Bashar bin Manshur berkata kepadanya,
“Janganlah kamu kagum atas apa yang telah aku lakukan, karena Iblis telah beribadah bersama-sama malaikat dalam waktu yang sangat lama, akan tetapi sekarang ia menjadi makhluk yang paling dilaknat.”

Daftar Pustaka :

  • I. Solihin, Drs, “Terjemah Nashaihul Ibad (karya Imam Nawawi al-Bantani)”, Pustaka Amani Jakarta, Cetakan ke-3 1427H/2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : "Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita?(1 of 3)"
Tulisan ini berlanjut ke : "Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita?(3 of 3)"

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Monday, November 10, 2008

Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita? (1 of 3)

Terkadang penulis ditanya orang dengan nada dan gaya penuh selidik, “Lulusan mana?”

Setelah dijawab, ternyata masih ada pertanyaan lanjutan, “Jurusan apa?”

Karena pengalaman menjawab “kuesioner” seperti ini, maka biasanya penulis langsung menjawab sekaligus ketika pertanyaan pertama diajukan. Penulis tak hendak sû’uzh zhan, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perguruan tinggi atau sekolah mempunyai peringkat (ranking), brand dan reputasi berbeda-beda. Begitu pula setiap jurusan yang ada. Terlebih lagi, masyarakat kita masih memandang adanya perbedaan prestise atau gengsi antara sekolah/kuliah di dalam dan luar negeri.

Kalau kita pada posisi penanya, kira-kira apa tujuan kita bertanya seperti itu? Untuk perkenalankah? Saling memahamikah? Ataukah untuk mengetahui kualitas orang yang kita tanya?

Permasalahan yang mungkin timbul yaitu :
  • Jika orang yang kita tanya ternyata posisinya di bawah kita, dikuatirkan muncul sifat tidak terpuji dalam diri kita. Kita akan meremehkan orang itu, baik dalam ucapan maupun tindakan.
  • Kalau orang tersebut berkualitas di atas kita, dikuatirkan timbul minder dalam diri kita. Akibatnya kita jadi salah tingkah atau malah bicara tidak karuan dengan harapan agar kita dianggap sebagai seorang cerdik-pandai.

Bahkan, tak mau ketinggalan, para orang tua pun sering saling bertanya, “Anakmu sekolah/kuliah di mana? Jurusan apa?”

Selain kebiasaan mengajukan pertanyaan seperti di atas, seringkali kita juga mencantumkan gelar mengiringi nama kita nan indah. Umumnya gelar dibagi menjadi tiga, yaitu :

  • Gelar akademik
    Gelar ini diperoleh lewat jalur pendidikan formal, misalnya diploma, sarjana, pasca sarjana dan sejenisnya.

  • Gelar profesional
    Gelar ini tak terhitung variasinya. Di bidang Teknologi Informasi saja, setiap vendor mengeluarkan gelar. Penulis pernah membaca sebuah buku TI yang ditulis oleh seorang Ph.D dan mempunyai 25 gelar profesional—ada Cisco, Unix Sun Solaris, Microsoft, Novell bahkan Hardware PC A+. Saking banyaknya, akhirnya gelar-gelar tersebut ditulis menurun, bukan mengiringi nama beliau.

  • Gelar kemasyarakatan
    Gelar ini pun bermacam-macam, sebagai contoh Gus, Haji, Raden, Ustadz, Kyai, Syaikh, Ajengan, Tuan Guru, Tengku, al-‘Âlim, al-‘Allâmah, al-Fâdhil, al-Faqîh, al-Hâfizh dan sebagainya.

Barangkali kita akan bertanya, “Apakah salah kalau kita mencantumkan gelar kesarjanaan yang kita peroleh dengan susah payah dan biaya berjuta-juta? Bertahun-tahun kita kuliah, salahkah bila kita senantiasa menulis gelar tersebut sebagai bukti bahwa kita telah berhasil menyelesaikan studi?”

Tidak ada yang salah dengan pencantuman gelar mengiringi nama syahdu kita. Namun, mari kita bersama-sama introspeksi diri, buat apakah pencantuman gelar tersebut?

Apakah kita mencantumkan gelar karena memang disyaratkan demikian, misalnya dalam struktur organisasi perguruan tinggi atau ketika menulis Curriculum Vitae?

Apakah kita mencantumkan gelar sebagai informasi bagi orang lain bahwa kita dapat mempertanggungjawabkan semua tulisan atau perkataan kita?

Ataukah kita mencantumkan gelar agar orang lain tahu bahwa kita pintar, canggih dan hebat? Agar orang lain mengerti bahwa status dan strata sosial kita begitu tinggi? Agar orang lain tidak menganggap kita remeh dan sekaligus harus menghormati kita?

Bukankah kita tak 'kan pernah melupakan sabda Nabi Muhammad saw. yang begitu sering dituturkan?

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya segala amal itu tergantung dari niatnya dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diniatkannya. (Muttafaq ‘alayh)

Tak usahlah kita menyibukkan diri mengamati orang lain. Mari kita cermati dan introspeksi diri kita sendiri.

KH. Muchit Murtadlo (Surabaya) dan KH. Masrihan (Mojokerto) pernah menasihatkan bahwa seorang kyai tidak boleh menggunakan ke-kyai-annya untuk kepentingan duniawi (pribadi). Misal, seorang kyai berkata kepada santrinya, “Tolong belikan nasi goreng, ya nak… Bilang saja Pak Kyai yang pesan, biar tidak perlu antri…”

Perintah tersebut tak elok didengar, apalagi dilaksanakan. Seorang kyai tak selayaknya menyuruh santri berbuat demikian, walaupun bagi sebagian orang hal ini termasuk kategori wajar dan lumrah. Kenapa? Karena kita seharusnya tidak memandang diri kita tinggi, apalagi minta diperlakukan lebih.

Sebuah kasus lain yang masih ada relevansi dengan inti permasalahan yang sedang dibahas (walaupun menyimpang dari judul) yaitu tentang pemakaian sarung, sebuah perlengkapan ibadah yang lazim digunakan oleh kaum muslim Indonesia dan sekitarnya.

Ada apa dengan sarung?

Biasanya, di sebuah sarung ada bagian yang agak berbeda—lebih gelap atau lebih terang daripada bagian lain—dengan tujuan agar diletakkan di bagian belakang tubuh. Di bagian bawahnya terdapat semacam kain stiker atau tulisan tanda merk. Sejak penulis sekolah, almarhum orang tua penulis mengajarkan agar meletakkan tanda merk sarung di atas (bagian yang dilipat), sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Tujuannya untuk menghindari fitnah.

Jika ada orang melihat merk sarung kita, sedangkan orang itu memakai sarung yang lebih mahal, dikuatirkan akan timbul sifat meremehkan di sisi orang itu, dan rendah diri di sisi kita. Namun, jika yang melihat memakai sarung yang merknya berharga lebih murah, dikuatirkan akan menimbulkan iri hati pada yang memandang dan sifat sombong pada diri kita.

Alasan kedua yaitu agar tanda merk tersebut tidak terbaca orang yang sedang shalat di shaf belakang kita. Dengan demikian ketika menundukkan pandangannya ke arah sujud, ia tidak akan terganggu. Oleh karena itu, maka bagian bawah sarung dijadikan bagian atas, begitu pula sebaliknya. Nasihat tersebut penulis jalankan terus sampai sekarang.


Lucunya, ada sarung yang merknya bukanlah stiker atau kain dijahit, melainkan sebuah tulisan dan berada di sisi atas serta bawah sarung. Sungguh kreatif sekali. Dengan begitu, tidak bisa ditentukan mana bagian atas, dan mana bagian bawah. Akhirnya, penulis punya inisiatif sendiri, bagian belakang sarung diletakkan di depan dan dilipat sehingga tidak terlihat. Dengan demikian, yang tampak adalah bagian yang semuanya sama. Bukankah kreativitas harus ditandingi dengan kreativitas pula? :-)

Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Tulisan ini berlanjut ke : "Mencantumkan Gelar, Apa Niat Kita? (2 of 3)"
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#