Mencari Data di Blog Ini :

Wednesday, December 17, 2008

Tukang Komplain, Apa Kita Termasuk di Dalamnya?

Almarhum ayah penulis pernah memberi nasihat, “Di sebuah kepanitiaan, umumnya terdapat dapartemen/seksi yang otomatis ada walaupun tidak dibentuk, yaitu seksi nyacat (bahasa Jawa, artinya komplain)... Hal ini layaknya sebuah template bagi pembentukan sebuah kepanitiaan...”

Nasihat itu memang benar adanya. Ketika penulis menjadi ketua remaja masjid Roudhotul Jannah, Kutisari Utara—Surabaya, berbagai bentuk saran, kritik dan komplain cukup sering penulis dapatkan. Bagi penulis, semua kritik adalah sarana untuk memperbaiki diri.

Namun, ada juga komplain yang menurut penulis saat itu termasuk kategori “agak lucu”. Komplain berasal dari orang yang tidak terlibat dalam kegiatan. Tapi, ketika diajak untuk aktif agar bisa turut serta memperbaiki secara kongkret, tidak mau ikut.

Memang, kita seringkali hanya pandai memberi saran, menyampaikan kritik dan mengajukan komplain. Tetapi, tak ada langkah nyata yang kita lakukan kecuali hanya berkata-kata. Kita menginginkan orang lain ‘tuk memperbaiki diri, namun kita lupa bahwa diri kita pun perlu perbaikan.
أَتَأْمُرُوْنَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri? (QS al-Baqarah [2] : 44)

Aidh al-Qarni menjelaskan:

Al-birr adalah segala perbuatan baik.
Al-birr adalah penyucian jiwa.
Al-birr adalah kebersihan hati.
Al-birr adalah keshalehan.

Kenapa kita memberi nasihat orang lain sedangkan kita tidak menjalankannya? Kita peringatkan orang lain sedang kita tidak ingat. Kita menganjurkan orang lain untuk berbuat baik sedang kita tidak melakukannya. Kita mencegah orang lain untuk berbuat jahat sedangkan kita melakukannya. Indah kata-kata kita, tetapi buruk perbuatan. Ucapan kita bagus tapi diri sendiri gersang dari kebajikan dan hidayah. Ibnu Rumi berkata :

Di antara keanehan zaman adalah
Engkau menginginkan orang lain sopan
Tapi engkau sendiri bertindak tidak sopan

Penulis teringat sebuah konsultasi di radio. Seseorang mengadukan permasalahannya, “Saya pusing baca koran tiap hari. Ada saja berita yang membuat saya agak naik darah karena ternyata banyak orang tidak becus mengurus tanggung jawab yang diemban. Bagaimana solusinya agar saya tidak dipusingkan oleh pemberitaan-pemberitaan yang ada?”

Sang konsultan menjawab, “Kita sering berlaku sebagai gubernur dunia. Setiap ada permasalahan langsung kita komentari. Bahkan kejadian-kejadian di luar negeri pun tak luput dari komentar dan komplain kita. Oleh karena itu, kurangilah pekerjaan kita sebagai gubernur dunia.”

Sungguh, sebuah jawaban sederhana tapi sangat mengena. Kita memang pandai sekali berkomentar, sampai-sampai sebuah anekdot telah disebar-luaskan, “Menjadi komentator, memang kita ahlinya.” Saking ahlinya, sebuah komentar bisa disampaikan secara berapi-api bahkan dengan nada emosi. Ya, itulah salah satu spesifikasi teknis keterampilan kita.

Sebenarnya, pesan-pesan kebajikan telah disampaikan kepada kita. Nasihat agar kita lebih melihat kekurangan diri daripada mengurusi aib orang lain telah kita dapatkan. Namun, mengapa semua nasihat itu berhenti hanya sebagai pengetahuan?

Mengapa berbagai nasihat itu tidak mengubah perilaku kita? Mengapa kita bisa berkomentar “Kuman di seberang lautan tampak jelas tapi gajah di pelupuk mata tak tampak”, namun hal itu sebatas ucapan dan retorika semata? Mengapa kita bangga bila disebut pintar, cerdas serta berwawasan luas padahal hakekatnya kita jauh dari apa yang kita katakan? Bukankah itu berarti sekadar kamuflase belaka?

Mari kita bersama-sama muhasabah (introspeksi) diri sendiri, tak perlulah mencari siapa orang yang berjuluk “tukang komplain.” Mari kita tanya diri sendiri, adakah kita termasuk anggota kumpulan orang yang senang mengkritik? Adakah kita termasuk orang yang bisa melihat kekurangan orang lain, sementara kesalahan sendiri kita abaikan, dengan dalih kekeliruan kita termasuk kategori mukhaffafah sehingga mudah dimaafkan dan kurang perlu dihiraukan?

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

11 comments:

  1. Begitu IndahNanBijak Setiap kata dalam tulisan ini. Berbagai Nasihat yang sarat akan makna, belajar Mawas diri selalu untuk tidak terjerumus dalam kriteria di atas. Untuk Bpk Faisol Dan Keluarga, Semoga Allah Swt Merahmati Panjenengan Semua.

    ReplyDelete
  2. saudaraku jk supriono yg baik,

    u/ semua doa sampean, amin... doa yang sama juga u/ sampean dan keluarga, amin...

    ReplyDelete
  3. Baru sempat mampir ke blognya kang achmad , tulisanya bagus dan terperinci,teruslah berkarya saudaraku sampai tangan ini tidak bisa digerakan lagi oleh sang maha pemberi hidup
    Salam,
    Nurcholis
    (indo-ortega)

    ReplyDelete
  4. Berlebihnya suatu pujian adalah cela hingga pasirpun pantas dilempar kemuka.
    Begitu pula ungkapan hina adalah aib bak bangkai saudara yang termakan diri.

    Cukuplah nasehat - menasehati dalam ketaatan dan taqwa, dan nasehat - menasehati dalam menetapi kesabaran.

    Selamat menebar kebajikan mas Faisol.
    Semoga 4JJI SWT merahmati kita semua.

    Keep brothership.
    Regards.
    @_pararaja

    Note : maaf, kami berlangganan tulisan saudara dan mengadopsinya untuk disunting di www.smk3ae.wordpress.com.
    Kami berusaha menebarkan ilmu dan hikmah serta bangga menjadi member multilevel pahala saudara.
    Keikhalasan adalah suatu harapan

    ReplyDelete
  5. saudaraku Nurcholis Sholeh yg baik,

    terima kasih saya haturkan atas kunjungan dan dukungan sampean... semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan shg selama hayat di kandung badan, kita tetap berdakwah u/ Allah, amin...

    saudaraku @_pararaja yg baik,
    u/ semua doa sampean, amin... saya bersyukur kpd Allah bila ilmu ini bs bermanfaat dan menjadi Multi Level Pahala (MLP) bg kita semua, amin...

    semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...

    ReplyDelete
  6. trim's dah ngunjungi blog saya. harapannya memang begitu, jika ada orang yang ngajukan kritik, sepatutnya dia ikut terlibat agar tu masalah mudah terurai. tapi ingat mas faisol, tidak semua kritik yang diberikan pada kita itu mesti dilihat dari sudut pandang pengkritiknya. kata imam ali, hayati dengan baik (terj. bebas) apa yang diomongkan orang kepada kita, dan jangan terpaku dengan siapa pengucapnya. jadi selama kritik itu baik, kita tidak usah repot-repot berharap agar orang itu turut terlibat dalam kegiatan kita. terima saja, dan renungkan dengan baik pesan itu. dalam al-Qur'an juga disampaikan, "berilah kabar gembira bagi orang yang mau mendengarkan perkataan dengan baik, kemudian orang itu mau mengikutinya." lihat al-Zumar/39:17-19. Semoga panjenengan tidak terlelap dengan keinginan untuk melibatkan orang. ini terkesan ingin "menguji." fahmiriady.blogspot.com

    ReplyDelete
  7. saudaraku fahmiriady yg baik,

    terima kasih saya haturkan atas masukan dan nasihat sampean...

    saudaraku,
    di blog ini, semua tulisan u/ muhasabah diri sendiri... jd, saya menulis bukan u/ orang lain, tp u/ diri sendiri...

    apakah kita termasuk tukang kritik yg hanya bisa mengkritik tanpa ada aksi? itulah inti tulisan saya...

    jd, tulisan saya bukan u/ mengkritisi orang lain, tp mengkritisi diri sendiri...

    ttg saran sampean, saya setuju sekali... apa pun kritik thd kita, harus kita terima u/ perbaikan diri, walaupun orang itu hanya bisa mengkritik tanpa ada keterlibatan...

    bukankah di akhirat nanti kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita, bukan orang lain?

    begitu dulu, saudaraku... semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...

    ReplyDelete
  8. 'Salamaualaikum..
    Kang ahmad, bener memang kalo kita bilang tukang kritik ada di mana2. Merupakan pekerjaan yang tak memerlukan keahlian khusus maupun tingkat pendidikan tertentu. Hanya diperlukan mental FAULT FINDER. Tapi pengkritik ini kadang juga penting untuk balancing muhasabah diri kita. Kadang bercermin pada diri sendiripun tak cukup sehingga perlulah kita perhatikan cerminan orang lain.
    Namun kalau mau melihat diri sendiri dengan lebih arif, memang seyogyanya kita menggunakan "cermin" bukan "teleskop", sehingga yang nampak kita sendiri dulu, barulah membandingkan dengan orang lain..

    ReplyDelete
  9. Ass Pak Faisol perkenalkan nama saya abdul zaini dari kota balikpapan tetepi asalnya di lamongan cuma sekarang merantai di balikpapan hehehe semoga kita diberi istiqomah dalam ibadah kepada Allah SWT amin salam buat keluarga di sana

    ReplyDelete
  10. wa'alaykumus salam, saudariku Tata save yg baik,

    terima kasih saya haturkan atas sharing yg penuh nasihat bijak...

    wa'aaykumus salam, saudaraku abdul zaini yg baik,

    u/ semua doa sampean, amin... salam juga u/ keluarga sampean... semoga diberi kelancaran rizki yg halal & barokah, amin...

    ReplyDelete
  11. SAYA MOHON IZIN UNTUK SAYA BAGIKAN DI FACEBOOK MILIK SAYA

    ReplyDelete