Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 29, 2009

Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (1 of 2)

Ilmuwan Fisika Quantum telah membuat rumusan Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction). Salah satu ringkasan rahasia Hukum Tarik-Menarik adalah “Untuk menarik uang, berfokuslah pada kekayaan.”

Mario Teguh menasihatkan, “Hukum Tarik-Menarik berkata bahwa kalau kita fokus pada kekayaan, maka semesta akan menarik kekayaan untuk kita. Kalau kita selalu berpikir hal-hal baik, maka kebaikanlah yang akan diwujudkan untuk kita. Oleh karena itu, berpikir dan fokuslah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara-cara yang tetap dalam kebaikan.”

Sekarang mari kita perhatikan lagi ajaran agama kita. Sebelum ilmuwan, motivator dan konsultan berpesan seperti tersebut di atas, bukankah doa ketika selesai shalat Dhuha sudah mengajarkan kita untuk berpikir dan bersikap seperti itu? Coba kita telaah lagi doa setelah shalat Dhuha sebagai berikut :


اللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِيْ فىِ السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ، وَإِنْ كَانَ فىِ اْلأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِـرًا فَيَسِّـرْهُ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ، وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ، بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَائِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ وَعِصْمَتِكَ، آتِنِيْ مَا أَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ.

رَبَّنَاۤ ءَاتِنَا فىِ ٱلدُّنْياَ حَسَـنَةً وَفىِ ٱْلآخِرَةِ حَسَـنَةً وَقِنَا عَـذَابَ ٱلنَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَـيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِيْنَ. وَٱلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعٰٰـلَمِيْنَ


Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha itu waktu-Mu; cahaya cemerlang, keindahan, kekuatan, kekuasaan dan penjagaan, semua itu adalah hak yang ada pada-Mu. Ya Allah, bilamana rejeki hamba masih di langit maka turunkanlah, apabila masih berada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika susah mencapainya maka mudahkanlah, bila ada yang haram maka sucikanlah dan jika masih jauh maka dekatkanlah; dengan hak-Mu atas waktu dhuha, cahaya cemerlang, keindahan, kekuatan, kekuasaan dan penjagaan-Mu; anugerahkanlah kepada hamba seperti yang telah Engkau anugerahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh.

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Semoga shalawat/rahmat dan kasih sayang tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan sahabat beliau. Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam, amin.

Sungguh, agama kita telah mengajarkan semua hal, jauh sebelum para ilmuwan, konsultan dan motivator mengatakannya. Dengan anjuran agama untuk shalat Dhuha, serta bukti ilmiah dan logis yang ada, apakah kita masih mengabaikan shalat Dhuha? Apakah kita masih menganggapnya tidak perlu dan tidak penting? Apakah kita masih didera rasa malas untuk melaksanakannya?

Sebagai catatan, perlu diingat bahwa kita tidak boleh shalat Dhuha dengan niat agar mendapatkan banyak rejeki. Shalat Dhuha tetap diniatkan untuk beribadah, mengabdi kepada-Nya, sesuai anjuran Rasulullah saw. Doa setelah shalat itulah yang kita niatkan untuk memohon kelancaran rejeki yang halal, berlimpah dan barakah. Selain uang dan perhiasan, rejeki juga bisa berarti kesehatan, keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah wa rahmah), nilai bagus dan sebagainya.

Kapan waktu pelaksanaan shalat Dhuha bisa dimulai? Shalat Dhuha bisa dikerjakan setelah matahari terbit setinggi galah. Apabila diukur dalam satuan menit, kira-kira 25 (dua puluh lima) menit setelah matahari terbit. Saat ini sudah banyak dicetak pedoman shalat untuk waktu abadi dan kalender yang mencantumkan waktu-waktu shalat, imsak, terbit matahari dan Dhuha.

Dari penjelasan di atas, berarti shalat Dhuha bisa dilaksanakan sebelum kita berangkat ke kantor, sekolah atau kuliah. Namun, jika kita berangkat ke kantor pagi-pagi benar—sebelum waktu Dhuha—karena jarak yang cukup jauh atau waktu tempuh yang lama, maka shalat Dhuha bisa dilakukan di kantor, sebelum jam kerja. Bagi para pelajar dan mahasiswa, shalat Dhuha dapat dilakukan pada jam istirahat.

Mungkin ada di antara kita yang berkata, “Kalau saya shalat Dhuha di sekolah, kampus atau kantor, saya kuatir akan timbul sifat riya’. Saya takut dipuji teman-teman dan akhirnya ibadah saya karena mereka, bukan karena Allah. Nanti kan saya tidak mendapat apa pun. Saya juga kuatir dikatakan sok alim, padahal saya kan bukan orang alim. Saya bukan ustadz, apalagi kyai. Saya pun belum menunaikan ibadah haji. Cukup melaksanakan shalat fardhu sajalah.”

Itulah salah satu cara setan untuk mencegah kita melaksanakan ibadah. Setan memang punya berjuta jurus untuk menaklukkan kita. Salah satunya yaitu membisiki kita bahwa kalau kita melaksanakan ibadah yang tidak dilaksanakan orang lain, maka kita akan mudah terjangkit penyakit hati berupa riya’ dan ‘ujub. Kalau kita malah tidak shalat Dhuha karena takut riya’ dan ‘ujub, berarti setan telah berhasil, dan kita kalah dibuatnya. Solusinya adalah tetaplah menjalankan shalat Dhuha, sambil menata hati dan memohon kepada Allah agar menjaga kita dari godaan setan.
Imam al-Fudhail bin Iyadh memberi petuah bijak,
تَرْكُ الْعَمَلِ ِلأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ ِلأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ مِنْهُمَا
Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ dan berbuat amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah apabila engkau diselamatkan Allah dari keduanya.”


Shalat Dhuha tidak ada hubungannya dengan sebutan Ustadz, Kyai, Ajengan, Buya, Tuan Guru, Syaikh, Ulama atau yang lain. Shalat itu antara kita dengan Allah. Shalat Dhuha dianjurkan oleh Nabi tercinta, Muhammad saw. Kita shalat bukan untuk mendapat julukan “orang alim”. Kita shalat semata-mata karena-Nya. Kalau omongan teman membuat kita tidak shalat, justru itu menunjukkan bahwa kita shalat karena mereka (riya’). Kita rajin shalat karena pujian, dan tidak shalat karena cemoohan. Apakah diri kita memang seperti itu? Tentu tidak, kan? Bukankah kita telah berikrar bahwa shalat, ibadah, hidup dan mati kita hanya untuk Allah? Dan jika memang kita beralasan malu untuk shalat di sekolah, kampus atau kantor; apakah ketika libur, kita selalu shalat Dhuha di rumah?

Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Kathur Suhardi, “Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) – Penjabaran Kongkret Iyyâka na‘budu wa-Iyyâka nasta‘în (terjemah Madârij as-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah)”, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Kedua : Agustus 1999
  • Rhonda Byrne, “Rahasia (The Secret)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima : Juni 2007
Tulisan ini berlanjut ke : Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, May 22, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (12 of 12)

f. Tawadhu‘

Dalam kitab “Al-Hikam”, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Athaillah as-Sakandary menjelaskan :

مَنْ أَثْبَتَ لِنَفْسِـهِ تَوَاضُعًا فَهُوَ الْمُتَكَـبِّرُ حَقًّا، إِذْ لَيْسَ التَّوَاضُعُ إِلاَّ عَنْ رِفْعَةٍ فَمَتَى أَثْبَتَ لِنَفْسِكَ رِفْعَةً فَأَنْتَ الْمُتَكَـبِّرُ حَقًّا

Siapa merasa dirinya tawadhu‘, maka dia benar-benar telah takabbur (sombong). Sebab tiadalah ia merasa tawadhu‘ kalau bukan karena sifat tinggi darinya. Oleh karena itu kapan saja engkau merasa dirimu tinggi, maka sungguh engkau telah takabbur.

Kadang karena ingin tawadhu‘, kita berlaku berlebihan sehingga menjalani hidup terlalu bersahaja padahal kita mampu. Misalnya tidak mau ikut serta menyumbangkan pemikiran dan pendapat yang kita miliki kepada orang lain, selalu menolak kepercayaan, tanggung jawab serta amanah yang diberikan kepada kita, padahal kita memiliki kemampuan untuk melaksanakan itu semua. Setan akan menggoda dan membisiki kita bahwa sikap itulah bentuk keunggulan kita yang tidak dimiliki orang lain. Kita adalah orang mulia karena mampu bersikap tawadhu‘ seperti itu.

Mâsyâ Allah. Setan memang tak pernah lelah untuk menggelincirkan kita. Walaupun kita sudah rendah hati, justru sifat itu sendiri yang dijadikan senjata oleh setan untuk membuat diri kita sombong. Merasa diri tawadhu‘ termasuk sifat angkuh (kibr). Apalagi jika sifat ini dipamerkan kepada orang lain, maka jadilah perbuatan ini riya’.

Sebenarnya tawadhu‘ itu hanyalah sifat terpuji yang tersimpan dalam hazanah kalbu seorang hamba Allah. Ia tidak menunjukkan sifat-sifatnya itu. Ia hanya meneladani akhlak Rasulullah saw. Ia sendiri tidak merasa memiliki sifat tersebut, karena yang ia gunakan dan tiru adalah sifat Rasulullah.

“Hakikat tawadhu‘ adalah tawadhu‘-nya seseorang karena melihat keagungan Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada yang dapat mengeluarkan engkau dari sifat angkuh, kecuali engkau memperhatikan sifat-sifat Allah,” pesan Ibnu Athaillah.

Kekuasaan Allah adalah sifat yang ada pada-Nya. Allah-lah Yang Maha Kuasa (Al-Qâdir). Selama kita tidak memperhatikan sifat-sifat kemuliaan yang ada pada-Nya, selama itu pula kita merasa lebih dari manusia lainnya, dan dengan sifat itu kita telah takabbur.

Abu Bakar Dalf asy-Syibli berkata, “Siapa yang merasa diri berharga, maka ia tidak bertawadhu‘ (tidak ada bagian dalam tawadhu‘).”

Abu Sulaiman ad-Darany berpesan, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu‘ kepada Allah hingga mengetahui kedudukan dirinya (maksudnya dia tahu kedudukan dirinya di hadapan Allah).”

Bahkan, seorang ulama ahli hikmah menasihatkan, “Selama seseorang merasa ada yang lebih jahat dari dirinya, maka ia sombong.”

Tawadhu‘ adalah sifat dan watak yang harus dimiliki oleh setiap muslim karena termasuk bagian dari akhlak terpuji (akhlâqul mahmûdah).

Supaya senantiasa dalam ketundukan pada-Nya, marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah :

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الطُّهْرَ الطَّاهِرِ وَبِعَظَمَتِكَ وَكِبْرِيَائِكَ الَّذِى إِذَا طُلِبَتْ بِهَا الْحَسَنَاتِ نِيْلَتْ وَإِذَا دُرِئَتْ بِهَا السَّـيِّئاَتِ حِيْلَتْ. اللَّهُمَّ اصْرِفْ عَناَّ السُّوْءَ وَأَلْقِ عَلَيْنَا مِنْ زِيْنَتِكَ وَنُعُوْتِ رُبُوْبِيَّـتِكَ مَا تَقْهَرُ بِهَا الْقُلُوْبَ وَتَذِلُّ بِهَا النُّفُوْسَ وَتَقِرُّ بِهَا اْلأَبْصَارَ وَتَلِذُّ بِهَا اْلأَفْكَارَ وَتَخْضَعُ بِهَا كُلَّ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ. يَا اللهُ يَا مُتَكَبِّرُ يَا قَهَّارُ

Ya Allah, sesungguhnya kami mohon kepada-Mu, dengan nama-Mu yang suci, serta keagungan dan kebesaran-Mu yang bila dimohonkan kebijakan dengannya diperoleh kebijakan itu. Bila ditolak keburukan dengan menyebutnya terjauhkan dari keburukan itu. Ya Allah, hindarkanlah kami dari segala keburukan, campakkanlah ke dalam jiwa kami keindahan-Mu serta sifat-sifat-Mu yang terpuji, agar tunduk dengannya semua kalbu, serta luluh semua jiwa, sejuk karenanya semua mata, dan tenang semua pikiran, lagi tunduk semua yang angkuh dan pembangkang. Ya Allah, Yang Memiliki Kebesaran dan Maha Perkasa, amin.

Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (11 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, May 15, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (11 of 12)

‘Ifrit berhasil menggoda Barshisha. Barshisha tak lagi malu untuk menatap wajah ayu sang putri. Dia begitu mengagumi lukisan indah di depan matanya. Tatapan mata pun beradu. Mata memang bisa menyampaikan beribu-ribu pesan. Ia bisa memutuskan, bisa pula menyatukan. Ia bisa menebar janji maupun ancaman. Ia bisa mengusir atau menerima pertemanan. Ia bisa memerintah, dan ia pun bisa melarang. Ia bisa menebar tawa maupun derita. Ia memberi jawaban di satu saat, sedang di saat lain ia mengajukan pertanyaan. Ia bisa menolak maupun memberi. Dan, ia masih bisa banyak lagi.

Bagi Barshisha, mata sang putri bagai magnet yang menarik-narik jantungnya. Jantung yang memang tugasnya untuk berdetak, ternyata berdegup dengan sangat kencang setiap kali berdekatan dengan sang putri. Darah berdesir dibuatnya. Hati pun berguncang seolah diterjang angin daya. Lama-kelamaan, terjadilah apa yang sudah terjadi. Sang putri hamil tanpa ikatan nikah yang suci. Na‘ûdzubillâh min dzâlik.

Ia yang suka menuruti nafsu birahi
Janganlah kaudekati
Karna kala bencana terjadi
Tak ada yang menolong menghampiri
Jangan kaudekatkan kayu bakar
Pada api yang berkobar-kobar
Jika nekat kaulakukan, apalagi dengan sadar
Asap kan mengepul, udara kan terbakar
(gubahan Ibnu Hazm al-Andalusi)

Ibarat pemanah ulung, panah kedua ‘Ifrit tepat pada sasaran. Umpama mahasiswa, dia lulus ujian tahap kedua dengan predikat jayyid jiddan (sangat baik) bahkan mumtâz atau cumlaude. Dengan menjelma menjadi manusia, ‘Ifrit mendatangi Barshisha, lalu bertanya dengan nada penuh tuduhan dan ancaman.

“Wahai Barshisha, apa yang telah engkau lakukan?” tanya ‘Ifrit ketus.

“A..aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Barshisha gugup. Dia kaget sekali mendengar pertanyaan yang terasa aneh namun penuh tuduhan tersebut.

“Alaaaahhh… Kamu jangan berlagak tidak tahu!”

“Be..bee..betul. Aku tidak tahu apa maksudmu.”

“Aku sudah tahu semuanya!”

Mendengar kalimat itu terucap, jantung Barshisha berdebar keras. Dalam hatinya, dia kuatir jika ‘Ifrit benar-benar mengetahui perbuatan terkutuk yang telah ia lakukan. Barshisha diam tak menjawab.

“Tugasmu kan menyembuhkan sang putri. Kenapa sekarang engkau tambah lagi penderitaanya? Mengapa kau menghamilinya? Apa kamu tidak tahu bahwa kejadian ini akan membuat raja murka?” tanya ‘Ifrit bertubi-tubi. Namun, itu bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban. Jawaban pertanyaan itu sudah tersurat dengan jelas.

Laksana lari estafet, pertanyaan demi pertanyaan berlari sambung-menyambung dari bibir ‘Ifrit. Ibarat anak panah, busur telah melepaskan sekian banyak anak panah yang melesat cepat mengenai sasaran dengan tepat. Barshisha diam seribu bahasa. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tubuhnya gemetar mendengar rentetan pertanyaan tanpa ada yang sanggup ia jawab. Kalimat demi kalimat ia rasakan bagai peluru diberondongkan dari senapan AK-47 ke arah tubuhnya. Peluh dingin membasahi wajahnya. Badannya pun menjadi lemas seketika. ‘Ifrit memang agitator ulung.

Melihat kondisi psikologis musuh jatuh serendah-rendahnya, ‘Ifrit pun berhasil memenangkan psy war (perang urat saraf) antara dia dan Barshisha. ‘Ifrit seolah sudah mencuci bersih otak Barshisha.

“Jika engkau tidak ingin dihukum gantung oleh raja, bunuh saja putri itu. Lalu kuburlah ia di samping tempat ibadahmu. Jika nanti semua orang bertanya, jawablah bahwa sang putri meninggal dengan tenang karena kehendak Allah. Niscaya engkau akan selamat dari tiang gantungan,” kata ‘Ifrit dengan suara begitu meyakinkan, laksana seorang konsultan ternama seantero jagad.

Seperti robot yang tidak menggunakan artificial intelligence (kecerdasan buatan), Barshisha melaksanakan semua yang disarankan ‘Ifrit. Baginya, itulah nasihat terbijak yang ia dengar kala selimut kegelapan membungkus erat pikirannya.

Hari berikutnya, datanglah utusan kerajaan untuk menengok kondisi sang putri. Dengan sikap setenang mungkin, Barshisha menjawab bahwa sang putri telah meninggal sesuai takdir Allah. Hanya kepasrahan yang bisa dilakukan oleh rombongan dari istana. Mereka pamit pulang hendak mengabarkan berita duka kepada keluarga kerajaan.

Di tengah jalan, ‘Ifrit mencegat mereka. Mereka diberi tahu bahwa Barshisha telah membuat kebohongan besar. ‘Ifrit menceritakan detail kejadiannya, dan yang pasti dia tidak bercerita tentang ide-idenya. Semua tuduhan mengarah ke Barshisha. Para utusan kerajaan pun bermuram durja. Mereka marah bukan kepalang. Diputuskan sebagian pasukan kembali ke rumah Barshisha dan sebagian lagi menjemput keluarga istana.

Setelah raja dan semua pengawal kerajaan tiba di rumah Barshisha, kuburan sang putri dibongkar. Tabib istana melakukan pengecekan mayat (semacam otopsi di dunia kedokteran modern). Setelah beberapa saat, sang tabib berhasil mengungkap kedustaan Barshisha. Barshisha akhirnya dibawa ke istana untuk diadili.


*******#######*******

Seperti peribahasa “Kotor dicuci, berabu dijentik”, perbuatan jahat harus diberi hukuman setimpal. Proses pengadilan pun digelar. Barshisha duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Ia bukanlah pembohong ulung, sehingga semua argumentasinya bisa dipatahkan dengan mudah, ibarat ranting pohon yang patah terinjak kaki anak kecil. Dengan dakwaan primer pembunuhan berencana, juga dikenai dakwaan subsider—tentang pembunuhan yang disertai perbuatan untuk mempersiapkan dan mempermudah pelaksanaan—Barshisha akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.

Disaksikan oleh rakyat kerajaan, di atas panggung tempat ditancapkannya tiang gantungan, Barshisha tampak lemah tak berdaya. Wajah yang biasanya dihiasi dengan senyum ramah, kini kusut bagaikan benang ruwet. Pikirannya begitu kalut. Sesaat sebelum prosesi hukuman gantung dimulai, ‘Ifrit mendekati Barshisha. Ia berkata,

“Hai Barshisha, aku penasihat raja. Aku bisa menyelamatkanmu dari tiang gantungan ini. Tapi ada syaratnya. Kamu harus bersujud kepadaku sebagaimana kamu sujud kepada Allah.”

”Iya, iya... Aku mau. Aku tidak ingin mati sekarang. Namun, dengan kondisiku yang terikat dengan leher terlilit tali seperti ini, bagaimana aku bisa bersujud kepadamu?,” ujar Barshisha segera. Entah apa yang ada di benaknya, ternyata ia mengiyakan permintaan ‘Ifrit.

Bibir ‘Ifrit menyungging sebuah senyum kemenangan. Ia melanjutkan sarannya,

“Baiklah. Mengingat kondisimu, kamu cukup memberi isyarat dengan menganggukkan kepala. Itu sudah membuktikan bahwa kamu menyembah aku.”

Barshisha memang sudah kehilangan akal sehatnya. Ia menganggukkan kepala sebagai isyarat sujud kepada ‘Ifrit. Sudah sepatutnya bagi setan, ‘Ifrit pun ingkar janji. Hukuman gantung dilaksanakan. Barshisha mati dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Peperangan telah usai, ‘Ifrit memenangkannya secara mutlak.

Dengan bibir menyeringai bak harimau menunjukkan kekuasaannya, ‘Ifrit berkata, “Sekarang aku sudah bebas. Aku tidak ada urusan lagi denganmu.”

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu,” maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”
(QS al-Hasyr [59] : 16)

Sesungguhnya berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS Ibrahim [14] : 22)

Wallâhu a‘lamu hâkadzâ. Na‘ûdzu billâhi min ghurûri asy-syaithâni wa makrihi.


Daftar Pustaka :
  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (10 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (12 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, May 8, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (10 of 12)

Sudah sering diceritakan kepada kita bahwa banyak orang yang pada awalnya shaleh, namun dalam perjalanan waktu bertolak belakang keadaannya, bahkan meninggal dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Berikut ini salah satu cerita yang barangkali sudah tidak kita acuhkan. Cerita ini penulis sadur dari kitab “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”. Inti cerita tetap sama meskipun penulis menyajikannya dengan cara berbeda. Hal ini untuk memberikan kesan yang kuat dalam diri kita sehingga bisa kita ambil pelajaran darinya.

Alkisah, pada zaman Bani Israil terdapat seorang ahli ibadah nan alim bernama Barshisha. Karena ia begitu khusyu‘ dalam beribadah, maka Allah mengaruniakan kelebihan (karâmah) padanya. Salah satunya bisa mengobati berbagai penyakit.

Sebagaimana sumpahnya untuk menggelincirkan semua anak cucu Nabi Adam as., Iblis tidak suka dengan keadaan Barshisha. Iblis berniat mengajaknya bersama-sama di neraka. Diadakanlah rapat kerja internasional dengan mengundang semua setan pengikutnya. Iblis berkata,

“Wahai rakyatku sekalian. Ini ada orang yang begitu taat beribadah, namanya Barshisha. Karena ketekunannya dalam beribadah, dia dianugerahi berbagai kelebihan oleh Allah. Salah satunya bisa menyembuhkan orang sakit. Siapa di antara kalian yang sanggup menggoda dan menyesatkan dia?”

Suasana menjadi hening. Beberapa setan sibuk bercakap-cakap pelan untuk membicarakan apakah mereka mampu atau tidak. Tak lama kemudian, salah satu setan berdiri dan mengangkat tangannya sambil berkata,

“Tuanku Iblis yang hamba junjung tinggi.”

“Ya, ‘Ifrit. Ada apa?” sahut Iblis.

“Hamba sanggup menjadikan Barshisha sebagai sahabat kita selama-lamanya di neraka nanti.”

“Oh, begitu. Kalau kamu gagal, apa konsekuensinya?”

“Jika hamba gagal, hamba rela dikucilkan dari pergaulan para setan yang terhormat.”

“Hemmm… Baiklah, ‘Ifrit,” ucap Iblis.

“Aku tunjuk engkau untuk mengemban misi ini. Terserah apa pun caramu, aku hanya mau tahu engkau harus berhasil,” terang Iblis tentang keinginannya.

Barshisha tinggal di sebuah daerah yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang hidup bahagia bersama sang permaisuri. Mereka mempunyai seorang putri berparas cantik jelita, bak purnama di kala malam, sebening embun pagi membasahi daun-daun.

Suatu hari, pada saat sang putri sedang bercengkrama dan bercanda tawa dengan kedua orang tua beserta sanak-famili yang lain, ‘Ifrit membuatnya jadi gila seketika. Keluarga, pembesar dan semua pengawal istana kalang-kabut dibuatnya. Para tabib didatangkan, namun tak satu pun bisa menyembuhkan buah hati sang ratu.

Resah, gelisah dan awan kesedihan memayungi kerajaan yang semula secerah pagi di musim panas. Langit seakan mendung sembab. Ceracau burung yang biasanya hinggap di atas dahan meriuhkan suasana, seolah hilang dicuri angin. Bagi permaisuri, hari demi hari dilalui dengan air mata jatuh berkejar-kejaran membasahi pakaian sutra nan lembut, seperti gerimis di musim hujan. Sampai beberapa hari, keadaan sang putri tak kunjung membaik.

*******#######*******

Suasana kerajaan terlihat lengang dalam kesibukan. Sinar sang surya di pagi hari yang begitu indah, terasa redup. Warna merah yang terpancar dari rona mentari yang tampak elok bestari, tak kuasa mengusir kegalauan. Pagi itu semua orang tampak pucat pasi, seperti cahaya rembulan terpantul dari air di parit yang kotor. Mereka hanya bercakap-cakap seperlunya saja. Angin berhembus membawa duka. Udara mengalir laksana tebasan pedang samurai yang tersusun dari partikel-partikel udara, menyayat semua orang—terutama sang raja dan permaisuri. Hampa, perasaan itu pun menghampiri mereka. Kondisi sebaliknya terjadi pada ‘Ifrit. Baginya, alam semesta seolah bersatu padu mewujudkan keinginannya. Dia tertawa kegirangan, terbahak-bahak, seolah hendak membelah angkasa, tanpa sedikit pun berbelas kasih. Dia tersenyum di atas penderitaan seluruh isi istana.

Merasa panah pertamanya berhasil, ‘Ifrit lalu mengubah wujudnya seperti manusia untuk menemui sang raja di istana yang sedang dipenuhi hawa kegalauan. Di depan sang raja ‘Ifrit mengucapkan salam,

“Hormat hamba untuk Baginda Raja dan Permaisuri.”

“Baiklah, aku terima hormatmu. Siapakah kamu? Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya Raja.

“Hamba rakyat Baginda. Nama hamba ‘Ifrit. Maksud kedatangan hamba, hamba ingin membantu menyembuhkan sang putri.”

“Apa kamu sanggup, hai ‘Ifrit? Sudah banyak tabib didatangkan, namun tak satu pun berhasil menyembuhkan putriku.”

“Beribu ampun hamba haturkan. Bukan hamba yang akan menyembuhkan sang putri. Hamba ingin membantu saja.”

“Apa maksudmu...?” tanya sang raja heran.

“Baginda Raja yang hamba junjung tinggi. Bila Baginda Raja dan Permaisuri ingin kesembuhan sang putri, bawalah ke seseorang yang sangat alim dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Orang itu bernama Barshisha.”

Segera setelah mendapatkan informasi yang cukup, berangkatlah rombongan kerajaan ke rumah Barshisha. Setelah diobati olehnya, ternyata sang putri pun sembuh. Semua orang bergembira ria. Selanjutnya mereka berkemas-kemas, kemudian kembali ke istana.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Ketika sampai di istana, penyakit sang putri kambuh lagi. Sungguh kebahagiaan yang begitu cepat, secepat meluncurnya roket ke angkasa. Berlagak seperti seorang penasihat ulung, ‘Ifrit menyampaikan saran,

“Beribu maaf hamba mohonkan kalau apa yang akan hamba utarakan ini dianggap sebagai sebuah kelancangan.”

“Tidak apa-apa ‘Ifrit, lanjutkan saja,” ucap Baginda.

“Bila Tuanku berkehendak agar sang putri sembuh total, biarkanlah sang putri menginap di kediaman Barshisha. Dengan demikian, perawatan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih intensif. Mohon Paduka berkenan memaafkan kebodohan hamba.”

Mendengar usul yang masuk akal, raja pun menyetujuinya. Sang putri dibawa lagi ke rumah Barshisha. Mula-mula Barshisha berkeberatan jika sang putri rawat inap. Dia seorang yang selalu menjaga diri—seorang ahli ibadah. Namun, luluh juga pendiriannya setelah didesak dan dipaksa oleh raja. Selama beberapa hari merawat sang putri, Barshisha benar-benar menjaga pandangan matanya. Bila tidak sangat penting, dia tetap menundukkan pandangannya karena ia sadar bahwa putri itu bukan mahramnya.

Bukanlah setan bila kekurangan cara. Setan akan menggoda kita dari semua arah—depan, belakang, samping kiri, kanan, atas dan bawah. Setan juga mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam setiap hembusan nafas. Ia bisa masuk meskipun melalui celah terkecil. Ia selalu menelusup pada gelombang hasrat. Ia tetap akan menggoda dan merayu sampai ia tertawa lepas merayakan kemenangan atas kenistaan manusia. Setan dan syahwat memang tak pandang usia. Sejak manusia pertama sampai akhir zaman kelak, yang bernama setan dan syahwat takkan pernah jera. Hanya perwujudannya saja yang berbeda. Ada yang secara halus alias tak kasat mata, ada juga yang secara nyata—manusia menyembah syahwatnya.


Daftar Pustaka :
  • Anam Khoirul Anam, “Dzikir-dizkir Cinta [Novel Inspiratif Penggugah Religiusitas]”, Diva Press, Cetakan XII : Maret 2007
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”


Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (9 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (11 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, May 1, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (9 of 12)

Hatim al-Asham—seorang ulama yang telah tertanam dalam dirinya sifat rendah hati—menasihatkan,
“Jangan sombong karena memperoleh tempat yang baik. Tidak ada tempat yang lebih baik melebihi surga. Oleh karena itu, wajar bagi Nabi Adam as. ingin berjumpa dengan sesuatu yang pernah dijumpai.

Jangan sombong karena banyaknya ibadah, sebab Iblis setelah lama beribadah ternyata tersingkir dari surga.

Jangan sombong karena banyaknya ilmu, sebab Bal‘am yang selalu mengagungkan nama Allah Yang Maha Agung ternyata mati kafir.

Jangan sombong karena bisa bergaul dengan orang-orang baik dan hebat, sebab tak seorang pun lebih hebat daripada Nabi Muhammad saw.”

Siapakah Hatim? Mengapa ia dijuluki al-Asham (orang tuli)?

Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan (wafat pada tahun 237 H/751 M). Dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) Khurasan, murid Syaikh Saqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki al-Asham bukan karena ia tuli, tetapi pernah sekali ia berpura-pura tuli karena menjaga kehormatan seseorang sehingga ia dijuluki demikian.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq bercerita tentangnya, “Seorang wanita datang kepada Hatim. Ia bermaksud menanyakan sesuatu kepadanya. Namun, di tengah mengutarakan pertanyaannya, wanita itu tiba-tiba buang angin sehingga membuatnya merasa malu. Hatim tahu apa yang berada di balik perasaan tamunya. Dia tidak ingin tamunya bertambah malu karena suara buang angin yang didengarnya. Karena itu, dia mencoba menutupinya dengan berkata,

‘Keraskan suaramu!’

Dia berkata demikian karena berpura-pura tuli. Akibatnya, wanita itu senang dan tidak salah tingkah. Ia mengira Hatim tidak mendengar suara buang anginnya. Sejak saat itulah ia dijuluki al-Asham, Hatim yang tuli.”

Abu Hamid al-Ghazali memberi saran agar kita senantiasa rendah hati dalam hal amal kebaikan. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah di dalam hati, “Orang ini lebih tua dari saya, pastilah amal ibadahnya lebih banyak dari saya. Allah jelas lebih memuliakan orang tua ini dibandingkan saya.”

Bila kita menjumpai orang yang lebih muda, maka kita dinasihati untuk berkata dalam hati, “Usia orang ini lebih muda dari saya, tentunya kemaksiatan dan dosa yang diperbuat lebih sedikit dari saya. Sungguh, dia lebih terhormat di sisi Allah daripada saya.”

Yang terakhir, tatkala kita melihat anak kecil yang belum baligh, maka berucaplah, “Anak ini belum punya dosa. Dia mendapat jaminan surga. Bagaimana dengan saya?”

Allah mengingatkan kita dengan firman-Nya :


فَلاَ تُزَكُّوْۤا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتـَّقىٰ
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS an-Najm [53] : 32)

Janganlah kita memuji diri sendiri karena seorang pengkritik harus dapat melihat apa yang dikritiknya. Betapa aneh jika kita menilai diri sendiri suci, memberikan kesaksian atas kelebihan-kelebihan kita dan mengaku bersih dari segala macam aib. Alangkah naif apabila kita menceritakan kebaikan dan pujian terhadap diri kita di hadapan manusia dan Tuhan.

Orang yang mengatakan diri sendiri suci sesungguhnya justru berada pada posisi terdakwa dan disangsikan. Hal ini karena manusia menurut tabiatnya zhalim dan bodoh, mencintai diri sendiri dan mengagumi sifat-sifatnya. Jika tabiat ini diperlihatkan di depan umum, maka itu pertanda lemahnya takwa dan dangkalnya pengetahuan. Apa alasan yang menjadikan kita mengakui diri sendiri suci, padahal kita berada di antara karunia yang belum disyukuri dan dosa yang belum diampuni, juga di antara kesalahan yang disembunyikan dan aib yang ditutupi oleh Tuhan kita?

Ibnu Athaillah berpesan,
اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لمَ ْ يُدْفَنْ لاَ يَتِمُّ نَتَاجُهُ
“Tanamlah wujud dirimu pada tanah yang dalam, karena suatu tanaman tidak akan tumbuh apabila ia tidak ditanam.”

“Tidak ada amal perbuatan yang lebih berbahaya dari keinginan beramal agar termasyhur. Keinginan agar terkenal sebagai ahli ibadah, apalagi diikuti dengan kehendak lain yang bukan ibadah, akan membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri. Di saat tertentu musuh manusia yang bernama Iblis akan dengan mudah merasuk ke dalam hati anak Adam yang kelak dapat menghancurkan diri dan imannya. Beramal ibadah untuk mencari kemasyhuran ibarat menanam benih tidak di tanah yang dalam, tidak akan menumbuhkan hasil yang baik karena akan mudah goyah dan roboh,” lanjut Ibnu Athaillah.

Agar tidak menyombongkan ibadah kita, para ulama berpesan sebaiknya kita melihat kekurangan diri sendiri, sebagaimana pesan al-Ghazali di atas. Namun, hal ini memang membutuhkan perjuangan lebih keras. Sebagaimana kata pepatah, “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak jelas.”

Sa‘id Hawwa dalam bukunya “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, berpesan agar kita senantiasa melihat dan mencari aib diri sendiri. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan para “musuh” kita (orang yang tidak senang pada kita), karena kebencian mengungkapkan segala keburukan. Mungkin kita dapat lebih mengambil manfaat dari mereka yang memberitahukan aib kita, daripada manfaat yang dapat diambil dari seorang teman yang terkadang suka berbasa-basi, menyanjung, memuji dan menyembunyikan kekurangan kita. Namun, jika teman kita benar-benar seorang teman sejati, biasanya dia pun akan melakukan kritik terhadap tingkah laku kita yang kurang baik.

Hanya saja, tabiat manusia cenderung tidak mempercayai musuh dan menilai pernyataannya sebagai kedengkian. Akan tetapi, jika kita memang berusaha menjaga diri, kita bisa mengambil manfaat dari perkataan orang yang membenci kita, karena keburukan-keburukan kita pasti tersebar melalui omongan mereka. Seorang penyair berkata :
عَيْنُ الرِّضَى عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ لـٰكِنْ عَيْنُ السُّخْطِ تَبْدِي الْمَعَايِبَا
Mata keridhaan tak dapat menyaksikan berbagai aib
Tetapi mata kebencian menampakkan segala keburukan
Seorang konsultan bisnis dan motivator, Drs. Mario Teguh, MBA— dikenal juga dengan inisial MT—menasihatkan bahwa ada orang yang seharusnya lebih dekat daripada sahabat kita. Siapakah dia? Dialah “musuh” atau orang yang membenci kita. Dengan menempelkan telinga kita lebih dekat kepada mereka, kita akan mengetahui lebih dulu kekurangan-kekurangan kita sebelum mereka menyebarkannya kepada orang lain. Dengan demikian, ketika berita tentang kekurangan kita disebarkan ke banyak orang, kita sudah memperbaiki diri. Semua orang tidak akan menemukan kebenaran pada cerita yang mereka dengar.

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (8 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (10 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#