Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 5, 2009

Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (2 of 2)

Dzun Nun al-Mishri berfatwa bahwa kerusakan masuk pada diri manusia melalui enam perkara, yaitu :
  • Lemahnya niat untuk berbuat amal akhirat.
  • Badan yang dijadikan jaminan untuk nafsu.
  • Angan-angan panjang menguasai diri, padahal ajal sangat dekat.
  • Lebih mengutamakan keridhaan makhluk daripada keridhaan Allah.
  • Mengikuti kemauan hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabi dengan diletakkan di belakang punggung.
  • Menjadikan ketergelinciran lidah sebagai argumen membela diri dan pada sisi lain mengubur sebagian besar perilaku.

Bisa jadi ada alibi lain yang kita ungkapkan, “Wah, saya sibuk sekali, mana sempat shalat Dhuha… Saya seorang profesional dan aktif di berbagai organisasi. Selain itu saya sering ke luar kota. Bisa dimaklumilah kalau saya sangat jarang shalat Dhuha.”

Seandainya saja setelah shalat Dhuha, untuk setiap rakaat yang kita kerjakan, Allah langsung menghadiahi kita uang tunai Rp 100 juta, apakah kita masih mengatakan tidak sempat?

Kalau kita mau bersabar menunggu cairnya tabungan pensiun, mengapa kita tidak mau sedikit bersabar lagi menunggu cairnya tabungan akhirat? Bukahkah jarak antara kita pensiun dari kerja (usia 55 tahun) dan pensiun dari kehidupan ini tidak lama, rata-rata sekitar 10-15 tahun saja?

Barangkali kita akan mengemukakan argumentasi lain, “Sebenarnya saya ingin sekali shalat Dhuha. Tapi, gimana ya? Ya…, begitulah, tahu sendirilah bagaimana kondisi saya. Sejujurnya, sedih juga tidak bisa melaksanakannya.”

Menjawab alasan kita tersebut, marilah kita perhatikan pesan Syaikh Ibnu Athaillah berikut ini :


الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ الطَّاعَةِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ إِلَيْهَا مِنْ عَلاَمَاتِ اْلإِغْتِرَارِ

Sangat sedih karena tidak dapat menjalankan ketaatan kepada Allah, akan tetapi merasa malas melakukannya adalah tanda ia terperdaya oleh setan.

Kesedihan seperti ini adalah kesedihan palsu. Kita merasa sedih tetapi kita malas. Kita merasa rugi tetapi kita tinggalkan. Kita merasa tertinggal tetapi kita tidak mengejarnya. Kita ingin bangkit berdiri tetapi kita berada dalam mimpi pulas dan terbuai pula.

Andaikata kesedihan kita sampai menangis mencucurkan air mata diiringi penyesalan, akan tetapi tidak dengan usaha untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sebagai hamba Allah, maka tangis dan penyesalan itu akan tinggal penyesalan belaka. Kita seharusnya berusaha untuk mencari kesempatan atau mempergunakan kesempatan, bukan dibelenggu oleh rasa senang mengikuti panggilan hawa nafsu.

Tentang anjuran shalat Dhuha, Sahabat Abdurrahman bin Shakhr ra. atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Abu Hurairah ra. telah menceritakan hadits berikut ini :


أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِثَلاَثٍ، لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوْتُ : صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحٰى وَنَوْمِ عَلَى وِتْرٍ

Aku telah dipesan oleh junjunganku (Nabi Muhammad saw.) tiga hal supaya tidak aku tinggalkan sampai mati, yaitu puasa pada tiap bulan selama tiga hari, shalat Dhuha dan tidur setelah shalat Witir.
(HR Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud puasa tiga hari setiap bulan yaitu tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa ini disebut puasa hari terang atau hari putih (yawm al-bîdh). Sedangkan tidur setelah shalat Witir maksudnya tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir.

Jumlah rakaat shalat Dhuha minimal 2 (dua) rakaat, dan maksimal 8 (delapan) rakaat—dengan empat kali salam (satu shalat 2 rakaat). Ada juga pendapat maksimal 12 (dua belas) rakaat. Adapun surah yang dibaca, untuk rakaat pertama QS as-Syams [91] dan rakaat kedua QS adh-Dhuhâ [93]. Bila shalat Dhuha lebih dari sekali, maka untuk shalat berikutnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.

Begitu indah dan hebatnya waktu Dhuha, Allah bahkan pernah bersumpah atasnya.

وَالضُّحٰى

Demi adh-Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik).
(QS adh-Dhuhâ [93] : 1)

Adh-Dhuha dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun. Bahkan, panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Dengannya, Allah melambangkan kehadiran wahyu sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan dan menyenangkan.

Nabi saw. menganjurkan agar pada pagi hari kita bersedekah sebanyak bilangan seluruh anggota tubuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya, termasuk nikmat hidup setelah mengalami tidur yang mirip dengan mati—bahkan bisa dikategorikan saudaranya. Dua rakaat shalat Dhuha bisa mencukupi semua sedekah tersebut.

Sahabat Abu Dzar ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda,


يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمٰى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْـبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحٰى

“Pada (tiap) pagi hari setiap persendian dari seseorang di antara kalian ada sedekahnya; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma‘ruf adalah sedekah dan nahi munkar adalah sedekah pula. Tetapi dapat mencukupi semuanya yaitu dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dalam shalat Dhuha.” (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Sebagai penutup, masih adakah alasan yang akan kita kemukakan sebagai pembenar kita malas melaksanakan shalat Dhuha?

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Shalat Dhuha, Nasibmu Kini (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

2 comments:

  1. -Memang begitu kenyataannya mas,gebyarnya dunia lenih disukai daripada kehidupan akhirat kelak,padahal akhirat lebih lebih lebih indah.
    -Maju terus dengan artikel2 bermanfaat lainnya.
    -saya ijin taut blog ini di blog saya ya mas
    -salam

    ReplyDelete
  2. saudaraku Abdul Cholik yg baik,

    semoga Allah senantiasa menjaga dan memberi pertolongan kpd kita semua, amin...

    monggo bila mau taut blog ini, semoga bs jd ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahala (MLP) bg kita semua, amin...

    begitu dulu, saudaraku... semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...

    ReplyDelete