Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 3, 2009

Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (2 of 4)

Nah, apakah kita melaksanakan perintah pemimpin besar kita, Nabi Muhammad saw. tersebut? Sudahkan setiap hari kita membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an di rumah, walaupun hanya satu ayat, asalkan istiqamah?

Kalau kita diundang oleh orang lain untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya, mungkin berbentuk pengajian, khataman Al-Qur’an, atau yang lain, apakah kita mendatanginya?

Kenapa kita mau bahkan aktif membaca Al-Qur’an di rumah orang lain sementara di rumah sendiri kita malas? Apakah karena kalau kita membaca firman Allah di rumah orang yang mengundang kita, kita akan mendapat makan secara gratis? Kemudian ketika pulang, kita akan membawa tentengan berupa satu kotak makanan? Ataukah kita lebih parah lagi, kita tidak pernah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain, kecuali ketika shalat?

Apakah kita sengaja membiarkan rumah kita gelap gulita? Itukah yang kita inginkan? Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kita agar menerangi rumah kita dengan membaca Al-Qur’an? Memang, rumah kita sudah ada penerangan listrik, tetapi secara hakikat—dalam pandangan Allah dan para malaikat—rumah kita terasa suram dan buram, bila tak ada cahaya Al-Qur’an. Marilah kita introspeksi diri sendiri, tidak usah mencari-cari kesalahan orang lain.

Pada waktu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), penulis beserta semua santri mendapat nasihat dari ustadz yang mengajar mengaji. Sang ustadz menasihatkan bahwa kalau kita sudah bekerja, kecil kemungkinan bisa membaca Al-Qur’an di rumah setiap hari secara istiqamah, walaupun satu ayat. Akan ada saja alasannya, mungkin tidak ada waktu karena sebagai profesional kita sibuk sekali. Jika kita seorang entrepreneur (pengusaha), kita merasa tidak sempat karena bisnis harus tetap jalan bahkan meningkat sehingga cash flow perusahaan aman. Kalau kita adalah karyawan, kita akan mengemukakan alasan lembur, lelah dan ingin istirahat.

Apabila kita aktif di organisasi, alasan kita adalah banyaknya kegiatan di luar, rapat kerja, konfrensi, musyawarah besar/nasional, muktamar, pelatihan kepemimpinan dan sebagainya. Apalagi bagi yang sudah tua namun belum bisa membaca Al-Qur’an, karena waktu mudanya tidak mengaji. Jangankan membaca, belajar pun enggan karena merasa bukan waktunya lagi. Karena sudah tua, dikatakan bahwa pikiran lambat, lidah kaku, mata lamur, sudah udzur dan banyak lagi argumen yang akan dikemukakan.

Pesan itu terasa aneh pada saat penulis mendengarnya. Maklum, waktu itu masih SMP, masih banyak waktu untuk membaca Al-Qur’an di rumah. Kegiatan pun sudah terjadwal dengan baik. Setelah penulis bekerja, barulah penulis merasakan sendiri kebenaran nasihat tersebut. Memang, butuh usaha keras untuk bisa istiqamah membaca Al-Qur’an setiap hari di rumah, walaupun hanya satu ayat. Padahal, kalau kita melakukannya, tidak membutuhkan waktu lama, paling-paling hanya 5 (lima) menit. Hawa nafsu dan setan memang tak kenal istirahat untuk menggoda kita. Wal‘iyâdzu billâh.

Wajarkah kita mengemukakan alasan-alasan di atas? Dengan berbagai argumentasi, kita merasa tidak sempat membaca Al-Qur’an walaupun satu ayat? Bagi yang belum bisa membaca, sahkah alasan kita tidak mau belajar karena merasa lidah ngilu dan kaku? Baiklah kalau memang kita anggap semua itu wajar dan sah.

Misalnya ada seseorang yang sangat dermawan, kemudian orang itu berkata pada kita, “Bapak/Ibu yang baik, saya seorang biliuner. Saya ingin agar setiap orang mau membaca Al-Qur’an di rumah setiap hari. Saya merindukan lantunan ayat suci kalâm Allah bisa terdengar dari setiap rumah seperti zaman Rasulullah dan para sahabat. Betapa mengharukan dan mempertebal iman jika semua itu terlaksana. Saya ingin berbuat sesuatu untuk Islam dan beramal untuk diri saya. Nah, Bapak/Ibu, maukah Bapak/Ibu membaca Al-Qur’an secara istiqamah, setiap hari satu jam, berapa pun ayatnya; dan sebagai imbalan untuk satu jam itu, Bapak/Ibu akan saya beri uang Rp 99.000.000,- setiap hari? Dan itu berlaku selama 61 tahun Masehi atau 63 tahun Hijriyah. Apa Bapak/Ibu punya waktu dan sempat melakukannya? Kalau Bapak/Ibu belum bisa membaca Al-Qur’an, dengan imbalan sebesar itu, apakah Bapak/Ibu mau belajar? Dengan hadiah itu, maukah Bapak/Ibu bersabar untuk mengatasi kakunya lidah dan lambatnya pikir?”

Apa jawaban kita seandainya itu benar-benar terjadi? Penulis yakin seyakin-yakinnya (haqqul yaqîn) bahwa kita akan punya waktu untuk melakukannya. Bukan hanya 5 (lima) menit, tapi 60 (enam puluh) menit atau 1 (satu) jam, sesuai permintaan biliuner tersebut. Lalu, bagaimana dengan alasan-alasan kita sebelumnya? Bukankah itu menunjukkan bahwa argumen-argumen kita ibarat bangunan keropos?

Kalau saja Allah mau memberikan pahala berupa uang atau permata, pastilah kita akan saling berpacu untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Namun, hal ini sudah kita bahas di tulisan “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya...?” bahwa dunia adalah ladang untuk ditanami dan dituai di akhirat kelak.

Kita, sebagai seorang mukmin, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Sabda Nabi saw. :


خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَـلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَـلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. (HR Bukhari)

Belajar Al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapat tingkatan, yaitu :

  • Belajar membaca sampai lancar dan baik, sesuai qaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid.

    مَۤا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ ِلتَشْقىٰ

    Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
    (QS Thâhâ [20] : 2)

    وَلَقَدْ يَسَّرْناَ ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

    Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
    (QS al-Qamar [54] : 17)

  • Belajar arti dan maksudnya (tafsir) sampai mengerti akan maksud yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

  • Belajar menghapalnya di luar kepala, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah sampai saat ini. Namun, kewajiban ini bukanlah fardhu ‘ain. Walaupun begitu, kita harus tetap belajar menghapal beberapa ayat atau surah, setidaknya untuk dibaca ketika shalat.


Daftar Pustaka :

  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan lanjutan dari : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Menerangi Rumah Orang Lain, Rumah Sendiri Gelap (3 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

0 comments:

Post a Comment