Mencari Data di Blog Ini :

Friday, August 28, 2009

Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (1 of 3)

Seperti kita pahami bahwa di bulan Ramadhan, kita disunnahkan melaksanakan shalat Tarawih pada malam hari. Jumlah rakaat shalat Tarawih ada empat pendapat, yaitu 8 (delapan), 10 (sepuluh), 20 (dua puluh) dan 36 (tiga puluh enam).


Para muballigh kita memang jarang menceritakan shalat Tarawih dengan 10 atau 36 rakaat. Adapun bilangan shalat witirnya sama, yaitu 3 (tiga) rakaat. Semuanya baik, jadi tidak perlu saling menyalahkan. Yang lebih perlu diperhatikan adalah yang tidak melaksanakan shalat Tarawih. Di posting ini, penulis menekankan pada hal yang berhubungan dengan introspeksi diri, yaitu perasaan bahwa shalat Tarawih semakin hari semakin berat.


Sebagai pendahuluan, mari kita perhatikan pertanyaan dan pernyataan yang sering kita dengar tentang shalat Tarawih. Pertanyaan yang diajukan adalah, “Mengapa kian hari, shaf shalat Tarawih di masjid kian maju? Bukankah itu berarti bahwa yang melaksanakannya kian sedikit?”


Biasanya jawaban pertanyaan tersebut adalah, “Karena orang lebih sibuk belanja untuk keperluan lebaran. Dengan begitu, pusat perbelanjaan, super market, mall dan plasa penuh, sedangkan isi masjid berkurang.” Menurut penulis, jawaban ini tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak keliru.


Jawaban kedua yang disampaikan oleh para ustadz lebih diplomatis, “Ibarat lomba, maka kian hari kian berkurang pesertanya. Itu wajar. Siapa bertahan sampai garis akhir, dialah pemenangnya.”


Sekarang mari kita jawab pertanyaan di atas dengan lebih lengkap. Mengapa barisan shalat Tarawih di masjid kian berkurang?

  • Para pelajar dan mahasiswa biasanya libur di awal puasa. Setelah itu masuk seperti biasa. Bagi pelajar yang ikut kursus sore hari dan mahasiswa yang mengambil kuliah sore, tentu tidak bisa mengikuti shalat Tarawih di masjid karena harus kursus atau kuliah.

  • Pegawai pabrik bagian produksi umumnya bergantian shift. Giliran kerja shift sore (shift II) yaitu pukul 14.00–22.00 atau 15.00–23.00. Bahkan ada juga yang long shift, yaitu pukul 19.00–07.00. Sedangkan di restoran, mall atau plasa, shift sore lazimnya pukul 13.00–22.00. Dengannya, mereka tidak akan bisa ke masjid ketika kewajiban ini memanggil.

  • Beberapa sekolah, kampus dan organisasi kepemudaan mengadakan Pesantren Kilat selama beberapa hari di bulan Ramadhan. Ini artinya para peserta, panitia dan pembina akan shalat Tarawih di tempat kegiatan.

  • Sebagian perusahaan atau instansi mengadakan buka puasa bersama, rata-rata hanya sekali selama puasa. Setelah itu mereka juga shalat Isya’ dan Tarawih berjamaah. Bukankah kegiatan ini tetap mengurangi barisan shaf di masjid?

  • Perempuan yang sudah baligh tentunya ada masa libur dalam sebulan dari beberapa macam aktivitas ibadah, salah satunya adalah shalat.

  • Mendekati hari raya, pusat perbelanjaan memang lebih banyak dikunjungi orang, terutama umat Islam. Mengapa?

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah, THR (Tunjangan Hari Raya) minimal dibagikan seminggu sebelum lebaran. Misalnya hari raya jatuh pada hari Selasa. Itu berarti, THR minimal dibagikan hari Selasa sebelumnya. Para pegawai tentunya tidak bisa shopping di siang hari karena harus bekerja. Kalau dipilih hari Sabtu atau Minggu, tentu sudah sangat dekat dengan lebaran, apalagi mereka harus mudik ke kampung halaman. Inilah yang menyebabkan sebagian dari kita berbelanja di sore hari, yang berarti meninggalkan shalat Tarawih di masjid.

    Menurut penulis, sebagai solusi masalah ini, sebaiknya kita menabung dalam masa satu tahun sebelum lebaran. Dengan demikian, kita tidak hanya mengandalkan THR untuk belanja lebaran. Kita bisa belanja di siang hari pada hari libur, sehingga tetap bisa shalat Tarawih berjamaah. Bagi para pekerja dengan gaji setara UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten), mungkin akan terasa berat. Namun, bukankah bila niat sudah bulat, akan ada saja jalannya? Bukankah Allah Maha Membantu hamba-Nya yang ingin berbuat kebaikan? Sebuah pepatah Arab berbunyi :

    مَنْ جَدَّ وَجَدَ

    Siapa bersungguh-sungguh, dia menemukan (berhasil).

    Orang bule berkata, “There is a will, there is a way”, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

  • Mulai hari H-7, kebanyakan orang sibuk mengurusi mudik ke daerah asal. Bagi yang mudik pada malam hari, ada yang mudik setelah Tarawih, namun ada juga yang berangkat setelah buka puasa. Dengan demikian, mereka tengah dalam perjalanan ketika shalat Tarawih didirikan.

  • Saat ini banyak didirikan posko mudik, ada juga yang beroperasi 24 jam. Para petugas posko, baik dari jajaran TNI/Polri, instansi Pemerintah atau swasta, tentunya sedang bertugas ketika para jamaah di masjid melaksanakan shalat Tarawih.

  • Bagi yang mudik dan sudah sampai di kampung halaman, mereka akan shalat Tarawih di daerah masing-masing. Insyâ Allah. Hal ini berarti masjid di kampung halaman semakin ramai, sementara di daerah yang ditinggalkan semakin sepi.

Pertanyaan berikutnya adalah, “Dengan berlalunya hari, mengapa shalat Tarawih terasa semakin berat?”

Dalam pertanyaan tersebut secara sadar atau tidak, tersirat sebuah maksud bahwa semakin hari kita semakin mudah meninggalkan Tarawih, tanpa rasa penyesalan. Sebenarnya, berat atau tidaknya sesuatu bagi setiap pribadi, diri kita masing-masinglah yang mengetahui. Namun, kadang kita mencoba memanipulasi, seharusnya tidak berat tapi dibuat berat. Alasannya klasik, berdalih bahwa agama itu mudah—tidak sulit—jangan dipersulit. Jadi, kalau tidak sempat shalat Tarawih, ya tidak perlu, toh hukumnya sunnah saja.


Daftar Pustaka :

  • Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993

Tulisan ini berlanjut ke : Mengapa Tarawih Semakin Hari Semakin Berat? (2 of 3)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, August 21, 2009

Shalat Lebih Baik Daripada Tidur, Hanya Senilai itu? (2 of 2)

Apakah shalat “hanya” lebih baik daripada tidur? Mari kita tanyakan pada diri sendiri. Apabila kita sangat mengantuk karena begitu lelah setelah berbagai aktivitas yang kita lakukan; apakah emas, berlian, perhiasan, uang dan seluruh isi dunia lebih kita pilih daripada tidur? Tentu saja tidak. Hal ini mirip seperti orang yang sedang tenggelam di lautan. Baginya, intan permata tidak ada artinya. Justru ban bekas jauh lebih berharga daripada semua harta kekayaan.

Jadi, shalat tidak hanya lebih baik daripada tidur. Shalat jauh lebih baik daripada seluruh dunia beserta isinya. Shalat mencari kekayaan serta kehidupan hakiki, kenikmatan ukhrawi, surga nan abadi serta perjumpaan dan keridhaan Ilahi Rabbi.

Mengapa bangun untuk melaksanakan shalat Subuh terasa lebih berat? Selain karena kelelahan, ada juga alasan lainnya. Pada saat tidur pulas di waktu malam, setan berusaha untuk meninabobokan kita supaya tetap istirahat. Rasulullah asw. (‘alayhish shalâtu was salâm) bersabda :

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ : يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ، عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيْـقَظَ فَذَكَرَ اللهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، وَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْـبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْـبَحَ خَبِـيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

Setan akan mengikat ujung kepala kalian ketika sedang tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatan setan akan dibisikkan, “Kamu masih memiliki malam panjang, maka tidurlah.” Jika engkau bangun dan mengingat Allah, maka akan terlepaslah ikatanmu yang pertama. Apabila engkau kemudian berwudhu, maka akan terlepaslah ikatan kedua. Dan jika engkau melakukan shalat, maka akan terlepaslah ikatanmu yang ketiga. Jika engkau tidak melakukan ketiga hal itu, niscaya hatimu akan menjadi sesat dan malas.
(HR Bukhari dan Muslim)

Berikut ini hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan shalat Subuh, yang memang lebih berat untuk dilaksanakan. Rasulullah saw. bersabda :

يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُوْنَ فِيْ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ فَيَسْـأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ

Malaikat-malaikat malam hari dan malaikat-malaikat siang hari silih berganti mengawasi kalian, dan mereka berkumpul pada saat shalat Subuh dan shalat Ashar, kemudian malaikat-malaikat yang mengawasi kalian semalam suntuk naik (ke langit). Allah menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, “Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat, dan kami datangi mereka dalam keadaan mengerjakan shalat pula.”
(HR Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i)

Jabir bin Abdullah al-Bajalli berkata, “Kami berada di samping Nabi saw. pada suatu malam, maka Nabi melihat bulan purnama sambil berkata,

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَتَضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْـتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا

“Kalian akan melihat Tuhan sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak silau karena melihatnya. Maka sebisa mungkin, jangan sampai dikalahkan untuk shalat sebelum terbit matahari (Subuh) dan sebelum terbenamnya (Ashar). Cepatlah kamu kerjakan!”
(HR Bukhari dan Muslim)

Utsman bin Affan ra. menuturkan, “Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِيْ جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِيْ جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلِ كُلَّهُ

“Siapa yang shalat Isya’ berjamaah, seolah-olah bangun setengah malam (seperti shalat separuh malam). Siapa yang shalat Subuh berjamaah, maka bagaikan shalat semalam penuh.”
(HR Muslim)

Bahkan, Nabi saw. menyatakan bahwa dua rakaat sebelum Subuh (shalat sunnah Qabliyah Subuh) nilainya lebih baik daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya.

رَكْعَتَا اْلفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

Dua rakaat shalat sunnah Subuh lebih baik daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya.
(HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Maksud hadits tersebut yaitu seandainya kita memiliki semua yang ada di dunia ini kemudian menyedekahkannya, maka nilainya tidak akan sama dengan shalat Qabliyah Subuh. Oleh karena begitu besarnya nilai shalat ini, para ulama menasihatkan agar kita tidak meninggalkannya. Walaupun kita shalat Subuh sendirian di rumah, janganlah kita lupakan shalat sunnah ini.

Kalau keutamaan shalat sunnah Qabliyah Subuh saja seperti itu, bagaimana dengan shalat fardhu Subuh? Tentu kita bisa mengkalkulasi sendiri sebesar apa keutamaannya.

Agar senantiasa bisa berbakti kepada-Nya, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :

رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلـٰوةِ وَمِنْ ذُرِيَّتِيْ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan keturunanku orang yang mendirikan shalat (sujud menyembah Engkau). Ya Tuhan kami, perkenankanlah permohonan kami ini.
(QS Ibrâhîm [14] : 40)

Daftar Pustaka :
  • A. Hassan, “Tarjamah Bulughul Maram”, Penerbit Diponegoro, Cetakan XXIII, Oktober 1999
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy

Tulisan lanjutan dari : Shalat Lebih Baik Daripada Tidur, Hanya Senilai itu? (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, August 14, 2009

Shalat Lebih Baik Daripada Tidur, Hanya Senilai itu? (1 of 2)

Seorang teman bertanya, “Pada saat adzan Subuh, ada seruan bahwa shalat lebih baik daripada tidur. Kenapa begitu, ya? Kenapa nilai shalat hanya lebih baik daripada tidur? Kalau begitu, rendah sekali ternyata nilai shalat itu.”


Senang sekali rasanya mengetahui bahwa saat ini semua orang semakin kritis. Hal yang dulu hanya diterima sebagai teori, bahkan sebagian orang mengatakan dogma, saat ini sudah diimplementasikan dalam tataran akal. Alhamdulillâh. Bukankah akal memang diciptakan untuk mengokohkan iman? Namun, jangan lupa, iman harus tertanam dulu, baru kemudian akal menguatkannya.

Sebelum kita bahas pertanyaan tersebut, marilah kita ingat lagi asal mula kalimat adzan seperti yang sering kita dengar, barangkali kita sudah melupakannya. Maklum, bukankah manusia itu tempat salah dan lupa? Setelah itu kita bahas mengapa hanya adzan Subuh yang ada tambahan kalimat tersebut. Terakhir, marilah kita lihat apakah nilai shalat “hanya” lebih baik daripada tidur, seperti kata teman penulis tadi.

Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat hadits ke-190 yang menerangkan tentang adzan dan iqamah. Pada masa-masa awah hijrah, kaum muslimin bermusyawarah tentang bagaimana cara memanggil orang untuk shalat berjamaah lima waktu. Ada yang usul agar membunyikan lonceng. Namun pendapat ini tidak disetujui karena cara tersebut digunakan oleh orang Nasrani. Pendapat lain mengusulkan agar ditiup terompet, namun ditolak juga karena cara ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Ada yang usul dengan kalimat “ash-Shalâh ash-Shalâh”, dan dipilihlah kalimat ini sebagai seruan untuk shalat. Ada juga riwayat yang menyatakan beberapa kalimat lain untuk ajakan shalat.

Suatu malam Sahabat Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbah ra. bermimpi bertemu seseorang yang mengajarkan cara adzan dan iqamah. Keesokan paginya, Abdullah bin Zaid datang kepada Rasulullah saw. dan menceritakan mimpinya. Rasulullah bersabda,

إِنَّهَا لَرُؤْياَ حَقٍّ

“Sesungguhnya (yang demikian) itu mimpi yang benar.”
(HR Ahmad dan Abu Daud, disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)


Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Umar bin Khattab juga bermimpi yang sama. Akhirnya adzanlah yang digunakan untuk memanggil umat Islam dalam rangka menunaikan shalat berjamaah. Adzan adalah sebuah seruan yang membahana, menggema di angkasa dan memenuhi seluruh pelosok.

Adapun lafadzh adzan sebagaimana yang kita dengar selama ini. Sedangkan lafazh iqamah, ada perbedaan mengenai jumlah bilangan takbir. Sebuah riwayat dua kali, di riwayat yang lain satu kali. Semuanya benar, jadi tidak perlu diperselisihkan.

Untuk shalat Subuh disunnahkan dua kali adzan. Adzan pertama dikumandangkan sebelum waktu Subuh yang berfungsi membangunkan orang tidur. Adzan kedua ketika sudah masuk waktu Subuh yang berfungsi mengajak orang mengerjakan shalat.

Di kitab “I‘ânah ath-Thâlibîn” terdapat penjelasan tentang tambahan kalimat “Ash-Shalâtu khayrum minan nawm”, yang disebut dengan tatswîb. Sahabat Bilal pernah mengumandangkan adzan Subuh, kemudian dikabarkan kepadanya bahwa Nabi saw. sedang tidur, lalu Bilal menambahkan lafazh :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. اَلصَّـلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

Semoga salam, rahmat dan barakah dari Allah tetap atasmu wahai Nabi. (Pahala) shalat lebih baik daripada (kelezatan) tidur.
Nabi Muhammad saw. bersabda :

اِجْعَلْهُ فىِ تَأْذِيْنِكَ لِلصُّبْحِ

Jadikanlah tatswîb itu pada adzan Subuhmu.

Ada juga yang mengatakan bahwa Bilal menambahnya karena saat itu banyak sahabat yang belum bangun, diakibatkan kelelahan yang sangat sehabis berperang. Wallâhu a‘lam.

Disunnahkan tatswîb sebanyak dua kali setelah hayya ‘alal falâh berdasarkan hadits riwayat Abu Daud dengan jalur perawi yang baik. Hal ini dinyatakan dalam kitab “Syarah al-Muhadzdzab”. Kesunnahan tersebut berlaku untuk adzan sebelum Subuh maupun saat Subuh, meskipun penduduk Mekah menentukan tatswîb ini untuk adzan kedua saja dengan tujuan untuk membedakan dengan adzan pertama.

Apa pun riwayat yang kita jadikan dasar, tidur malam memang begitu nikmat sehabis melakukan aktivitas yang sangat melelahkan. Memang, ada sebagian dari kita yang aktivitasnya tidak terlalu berat, sehingga tidurnya cukup. Namun, sebagian dari kita yang lain mempunyai aktivitas yang sangat padat, sehingga tidur malam adalah jeda untuk melepas penat dan letih. Pada masa Rasulullah, aktivitas harian para sahabat tidak seperti kita, yaitu belajar, bekerja dan bermasyarakat. Kadang kala mereka harus berperang untuk menegakkan agama Allah. Bukankah hal itu sangat menguras tenaga?

Tambahan kalimat tatswîb tercantum juga di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” hadits ke-191 yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Khuzaimah.

اَلصَّـلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

Shalat itu lebih baik daripada tidur.

Adapun cara menjawabnya:

صَـدَقْتَ وَبَرَرْتَ وَاَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِـدِيْنَ

Engkau benar, engkau telah berbuat baik, dan aku termasuk golongan orang-orang yang menyaksikan.


Daftar Pustaka :

  • A. Hassan, “Tarjamah Bulughul Maram”, Penerbit Diponegoro, Cetakan XXIII, Oktober 1999
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, asy-Syaikh, “Sirah Nabawiyah (Ar-Rahîq al-Makhtûm, Bahtsun fî as-Sirah an-Nabawiyyah ‘Alâ Shahibihâ Afdhalish-Shalâti wa as-Salâm)”, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Kelima : Desember 1998
  • Tim PW LTN NU Jatim, “Ahkamul Fuqaha”, Khalista Surabaya, Cetakan ketiga Pebruari 2007

  • Tulisan ini berlanjut ke : Shalat Lebih Baik Daripada Tidur, Hanya Senilai itu? (2 of 2)

    #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

    Friday, August 7, 2009

    Apa Kita Termasuk Mukmin Kuat dan Bermanfaat? (2 of 2)

    Selain pesan agar kita menjadi mukmin kuat, Rasul saw. juga mengingatkan kita agar menjadi manusia (mukmin) yang bermanfaat bagi orang lain, sebisa mungkin sebanyak-banyaknya manfaat dan orang.


    خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

    Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (HR al-Qudha‘i – hadits hasan)

    أَحَبُّ النَّاسِ إِلىَ اللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

    Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat. (HR Thabrani – hadits hasan lighayrih)

    Mukmin penuh manfaat senantiasa menebar ilmu tanpa memperhitungkan apakah ada imbalan materi atau tidak, juga tidak menyembunyikan ilmu dengan beriklan agar orang lain membeli buku karyanya, kecuali memang terlalu panjang pembahasannya.

    Bukankah jalan rezeki bisa dari arah yang tak disangka-sangka (min haytsu lâ yahtasib)? Bukankah kita senantiasa berikrar Hasbunallâh (cukuplah bagi kami, Allah semata)? Bukankah Allah Maha Kaya (Al-Ghaniyy)?

    Renungan,
    • “Seorang ustadz boleh menerima bisyârah (uang saku) setelah ceramah atau khutbah tapi jangan dihitung besarnya, langsung saja masukkan ke dompet sehingga bercampur dengan uang lainnya. Dengan demikian hati kita tidak akan membanding-bandingkan di manakah kita akan diundang, berapa besar bisyârah yang akan diterima dan hal-hal yang bersifat keduniaan lainnya,” nasihat KH. Asrori al-Ishaqi—pengasuh Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya.

    وَلاَ تَشْتَرُوْا بِأ ٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلاً

    Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (QS al-Baqarah [2] : 41)

    مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا ِممَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ غَرَضًا مِنَ الدُّنْياَ لمَ ْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَعْنِيْ رِيْحَهَا

    Siapa yang mempelajari suatu ilmu agama yang seharusnya ditujukan untuk Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajari itu untuk Allah, hanya untuk mendapat kedudukan atau kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapat bau surga pada hari Kiamat. (HR Abu Daud)
    Mukmin penuh manfaat selalu berusaha berkarya, berkreasi dan berinovasi demi sumbangsih kepada kemanusiaan khususnya kejayaan Islam dan kaum muslimin di belahan dunia mana pun (bahkan di masa depan bisa jadi di planet mana pun).

    Renungan,
    • Sudahkah kita menemukan/menciptakan alat, software, teori, rumus, jasa atau apa pun yang berguna bagi khalayak ramai? Tidak malukah kita kepada para penemu (ilmuwan/praktisi) di masa lampau yang dengan segala keterbatasan mampu membuat sekian banyak terobosan? Bukankah saat ini fasilitas lebih memadai? Bukankah saat ini teknologi telah mempermudah kita melakukan berbagai hal? Mana hasil karya kita?

      Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Jika ruh sudah terpisah dari jasad, amal jariyah apa yang akan kita tinggalkan? Tak perlulah kita saling lempar tanggung jawab, mari kita tanya diri kita masing-masing.

    مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِم شَيْئًا
    Siapa memberi contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

    Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan,
    lebih nikmat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita cantik
    Aku bergerak kesana-kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan,
    lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan lezat
    (ungkapan Az-Zamakhsyari)

    Mukmin penuh manfaat tidak menunggu dilihat orang lain baru bertindak, dalam kesendirian pun selalu berupaya memberi manfaat. Selain itu tidak menunggu orang lain 'tuk berbuat kebaikan terlebih dahulu, tapi berupaya mendahului.

    Renungan,
    • Bila ada sampah, misalnya bungkus permen di dalam masjid, dengan senang hati kita memungut dan membuangnya di tempat sampah. Namun, jika bungkus permen itu ada di ruang kelas atau kantor, mengapa sering kali kita malas 'tuk mengambilnya dengan dalih sudah ada petugas kebersihan? Apakah kebersihan hanya diperintahkan di dalam masjid? Ataukah kita baru bersemangat melakukannya bila dilihat oleh guru, atasan atau orang yang kita kita segani?

      Mari kita ingat lagi, apakah nasihat bijak—bukan hadits Nabi saw.—yang diajarkan kepada kita seperti ini :


      النَّظَافَةُ فىِ الْمَسْجِدِ مِنَ اْلإِيْمَان

      Kebersihan di dalam masjid itu sebagian dari iman.
      Ataukah :

      النَّظَافَةُ مِنَ اْلإِيْمَانِ

      Kebersihan itu sebagian dari iman.
    • Mengapa kita enggan antri dengan tertib? Mengapa dengan begitu santainya kita melanggar aturan lalu lintas? Bukankah hal itu membuat orang lain harus mengalah terus kepada kita? Bukankah itu berarti kita telah menghalangi jalan orang lain?

      اُنْظُرْ مَا يُؤْذِي النَّاسَ فَاعْزِلْهُ عَنْ طَرِيْقِهِمْ

      Lihatlah sesuatu yang menyakiti manusia, maka singkirkanlah dari jalan mereka. (HR Ahmad)
    Mukmin penuh manfaat mendapat lebih banyak ganjaran karena amal yang dilakukan tidak hanya berguna untuk dirinya sendiri, tapi juga orang lain.

    مَنْ مَشَى فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كاَن َخَيْرًا لَهُ مِنِ اعْتِكَافٍ عَشْرَ سِنِيْنَ
    Siapa berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, maka hal itu lebih baik baginya daripada i'tikaf selama sepuluh tahun. (HR Thabrani)

    Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani, hadits tersebut termasuk dha‘if, tapi bukan munkar, matrûk (semi palsu) apalagi mawdhû‘ (palsu). Para ulama berpendapat bahwa hadits dha‘if dengan derajat seperti hadits ini tetap boleh dijadikan pegangan asalkan tidak untuk masalah aqidah dan hukum syariah.
    Wallâhu a‘lam.Sebagaimana penjabaran mukmin kuat, deskripsi mukmin penuh manfaat juga begitu banyak. Mari kita tambahkan sesuai spesifikasi teknis kita masing-masing.

    Mukmin penuh manfaat . . .

    Mukmin penuh manfaat . . .

    Mukmin penuh manfaat . . .

    Semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan menolong kita sehingga bisa menjadi mukmin kuat dan bermanfaat, amin...
    Daftar Pustaka :
    • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
    • Mushthafa as Siba'i, Dr, “Akhlâqunâ al Ijtimâ‘iyyah (Etika Sosial Islam) – diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al Kattani”, Darus Salam Kairo, Cetakan: I/1998 M – 1418 H
    • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
    • http://media.isnet.org/islam/Etc/EtikaSosial.html
    Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Termasuk Mukmin Kuat dan Bermanfaat? (1 of 2)

    #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#