Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 18, 2009

Renungan Idul Fitri : Antara Ketulusan, Tradisi dan Basa-Basi (1 of 2)

Duhai hati…
Kurendam engkau di air kelapangan jiwa
Kukerik kerak yang mulai mengeras
Kucuci hingga suci tak bernoda
Kujemur di bawah cahaya Ilahi

Duhai hati…
Itulah hasratku
Itulah kehendakku
Itulah ‘azam­-ku
Itulah visi dan misiku

Duhai hati…
Tapi diri ini lebih senang menunda
Semua jadi teori dan omong kosong belaka
Cuma desain tanpa implementasi nyata
Hebat kata-kata namun hampa adanya


Setiap kita tentu tulus saat menulis maupun mengucapkan permohonan maaf kala Idul Fitri tiba.

Setiap kita tentu tulus saat melafalkan kalimat pemberian maaf kepada orang yang mengharap maaf kita kala Idul Fitri datang.

Pertanyaannya adalah :
  • Ketika meminta maaf kepada seseorang, pernahkah kita—di dalam hati—menyebut apa saja kesalahan kita kepadanya? Ataukah kita hanya mengikuti sebagaimana lazimnya, yaitu dengan mengucap “Mohon dimaafkan atas segala kesalahan, baik disengaja maupun tidak”? Padahal kita sendiri tidak tahu (atau bahkan tidak mau tahu) kesalahan apa yang telah kita perbuat?
  • Misal kita khilaf telah meng-copas tulisan orang lain tapi tidak mencantumkan nama atau alamat web/blog orang tersebut.

    Maukah dengan jujur kita segera mencantumkan namanya, lalu secepatnya memohon keikhlasan darinya?

    Ataukah dengan egoisme tinggi kita enggan melakukannya karena para pengunjung blog telah mengira bahwa artikel tersebut tulisan kita, dan bila kita revisi, ada kekuatiran harga diri akan jatuh?
  • Apakah pemberian maaf kita hanya berlaku untuk orang yang secara langsung memohon maaf kepada kita?

    Bagaimana bila ada orang yang bersalah kepada kita tapi tidak minta maaf? Akankah kita juga memaafkannya? Apakah di hari nan fitri kita berniat memaafkan semua orang, baik yang menghaturkan kata maaf maupun tidak?

    Ataukah kita hendak berkata, “Kalau dia ngga minta maaf terlebih dahulu, aku ngga sudi memaafkannya. Jangankan memberi maaf, melihat mukanya saja aku tak mau!”
  • Apabila kita murid/mahasiswa, setelah bermaaf-maafan dengan guru/dosen, apa di bulan-bulan berikutnya kita masih mengulangi kebiasaan kita, yaitu membicarakan (ngrasani) guru/dosen kala berkumpul (kongkow/cangkruk) bareng teman-teman?
  • Kalau kita guru/dosen/ustadz, sesudah saling meminta dan memberi maaf kepada siswa/mahasiswa/santri, masihkah kita bersikap merasa diri lebih tua, lebih pengalaman dan lebih-lebih lainnya sehingga tidak boleh ada satu siswa/mahasiswa/santri pun mendebat atau membantah kita? Masihkah kita berprinsip “kalah–menang nyérék” (apa pun yang terjadi—walaupun kita salah—keputusan dan kekuasaan berada di tangan kita sehingga kita senantiasa menang)?
  • Jika kita atasan, setelah lebaran, apakah kita benar-benar memperbaiki kualitas kepemimpinan sehingga kesalahan yang telah lalu tak terulang lagi? Begitu pula sebagai karyawan, apakah kita sungguh-sungguh meningkatkan kinerja sebagai bukti tulus permintaan maaf kita kepada atasan?
  • Bila kita pejabat, apakah permintaan dan pemberian maaf kepada rakyat akan membuahkan kejujuran yang senantiasa mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam diri sehingga tak kan pernah ada kamus membohongi publik, korupsi dan sejenisnya di benak kita?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tulus” bermakna sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas. Adapun ketulusan berarti kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran.

Berdasarkan Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab serta software Kamus Al-Mufid versi 1.0, terjemah kata “tulus” dalam bahasa Arab adalah ikhlâs (إخلاص).

Sebagaimana telah dibahas di artikel “
Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2),” ikhlas berarti semua hal dilakukan semata-mata untuk dan karena Allah, apa pun sikap/perlakuan orang terhadap kita.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘âm [6] : 162)

Dari uraian di atas, bukankah wajar bahkan sebuah keharusan bila kita bertanya kepada diri sendiri, “Tuluskah saya ketika meminta dan memberi maaf? Jika memang tulus, apa buktinya?”

Mari kita lihat diri sendiri, tak perlu repot-repot menilai orang lain. Bukankah orang terdekat adalah diri sendiri? Bukankah semakin dekat seharusnya semakin mengerti betul kekurangan/kesalahan yang ada? Anehnya, justru karena sangat dekat itulah sehingga kita kesulitan bahkan tak dapat melihat kekurangan diri sendiri.


Daftar Pustaka :
  • Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, “Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab Terlengkap”, Pustaka Progressif, Cetakan Pertama 2007
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

1 comment:

  1. bismillah...
    mohon izin mengcopy, insya alloh tidak untuk tujuan komersil...

    ReplyDelete