Mencari Data di Blog Ini :

Friday, October 30, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (5 of 5)

b. Setan dari Golongan Jin


Setan jenis ini adalah setan yang tak tampak mata. Dijelaskan oleh para ulama bahwa di dunia ini kita tidak dapat melihat bangsa jin, sedangkan mereka bisa melihat kita. Kondisi ini akan berubah di akhirat kelak—kita tak tampak oleh mereka, sedangkan mereka tampak oleh penglihatan kita.


Kompetensi atau tingkat pendidikan setan yang menggoda setiap manusia disesuaikan dengan orang yang akan digoda, minimal setara. Bukankah usia setan memang sangat panjang? Bisa ribuan tahun. Coba kita bandingkan dengan diri kita.


Tentunya mereka sudah sedemikian lama belajar dan berlatih untuk menggoda anak cucu Nabi Adam as. Teknik menggelincirkan manusia, sejak manusia pertama sampai manusia modern mungkin telah mereka pelajari dengan baik. Bahkan, bisa jadi mereka telah mengembangkan semacam komputerisasi sehingga tercipta sejenis program 5 GL (Fifth Generation Language) yang bisa di-install di tubuh manusia. Dengan demikian, tugas mereka jadi lebih ringan. Wallâhu a‘lam. Itulah curriculum vitae atau profil musuh kita—musuh yang nyata—namun tak kasat mata.


إِنَّ الشَّيْطٰـنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا. إِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَـهُ ُ لِيَكُوْنـُوْا مِنْ أَصْحاَبِ السَّعِيْرِ

Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS Fâthir [35] : 6)


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. (QS an-Nûr [24] : 21)


Ibarat pengintai, setan adalah pengintai nomor satu. Ia dapat mengikuti kita ke mana pun kita pergi. Ia bisa berada di samping kita untuk memata-matai kita setiap saat. Karena ia tidak terlihat, maka ia bisa dengan leluasa mempelajari kelebihan dan kekurangan kita. Dengan santainya, seolah sedang menonton tayangan reality show kehidupan kita, setan bisa menyusun strategi untuk menggoda kita tanpa takut ketahuan atau bocor, seperti bocornya soal-soal ujian para pelajar sekolah. Kalau dia ingin menyerang kita, dengan bebasnya dia memilih dari arah mana dia akan menyerang. Setan juga bisa mengalir seperti aliran darah, sebagaimana sabda Nabi saw. :


إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ اْلِإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan (dapat) mengalir di dalam diri manusia sebagaimana darah mengalir (HR Bukhari dan Muslim)


Kalau kita sudah mengerti keadaanya seperti itu, apakah kita masih menyangka bahwa kita bisa melindungi diri sendiri dari setan? Karena musuh kita tidak tampak, maka kita harus berlindung dan memohon pertolongan kepada Yang bisa melihat dan mengetahui rahasia semua kelemahan musuh kita. Beliau adalah Allah Yang Maha Memelihara dan Menjaga (Al-Hafîzh). Allah yang bersifat Hafîzh-lah yang memelihara kehidupan dari kehancuran, baik yang sifatnya perorangan maupun kelompok. Beliau (Allah) juga yang memelihara jiwa manusia dari rayuan dan godaan setan, dari sentakan kesedihan atau benturan malapetaka; dengan mengilhami kesabaran serta ketabahan, dan menggantinya dengan nikmat, ketenangan, juga kegembiraan.


Allah memelihara manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya, baik berupa wahyu yang termaktub dalam kitab suci, maupun hidayah-Nya dalam bentuk ilham dan intuisi. Walhasil, beraneka ragamlah pemeliharaan Allah, juga mencakup segala wujud. Sebagai hamba, kita dituntut untuk meneladani sifat ini menurut pemeliharaan diri dari segala yang dapat membinasakannya; khususnya memelihara hati dari segala keburukan penyakit-penyakitnya, seperti dengki, hasud, riya’, kemunafikan dan sebagainya. Serta dituntut pula penciptaan pengawasan melekat pada diri kita, yang lahir dari kesadaran tentang kehadiran Allah dan kehadiran para malaikat-Nya (Raqib dan ‘Atid) bersama kita setiap saat.


Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Setan memang dapat melihat manusia dari arah yang manusia tidak dapat melihatnya. Sedangkan Allah dapat melihat makhluk-Nya, dari arah yang mereka tidak dapat melihat Allah. Hendaklah kalian selalu berlindung kepada Allah dari gangguan setan. Ketahuilah bahwa Allah itu bersifat Pemurah. Apabila manusia sudah tergoda oleh tipu daya setan, Allah tetap menerima taubat dan istighfar hamba-hamba-Nya.”


Ibnu Athaillah mengingatkan, “Jikalau kamu sudah tahu bahwa setan itu tidak pernah lupa kepadamu, maka janganlah kamu lupa kepada Allah, yang nasibmu ada di dalam kekuasaan-Nya.”


Dengan beriman, berlindung dan memohon pertolongan pada Allah, maka kita bisa mengusir setan. Dengan demikian, selamatlah kita dari godaannya yang tak kenal henti ia lakukan.


إِنَّهُ ُ لَيْسَ لَهُ ُ سُلْطـٰنٌ عَلَى ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَلىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (QS an-Nahl [16] : 99)


إِنَّمَا سُلْـٰطـنُهُ ُ عَلَى ٱلَّذِيْنَ يَتَوَلَّوْ نَهُ ُ وَٱلَّذِيْنَ هُمْ بِه ٰ مُشْرِكُوْنَ

Sesungguhnya kekuasannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS an-Nahl [16] : 100)


Diriwayatkan oleh Aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :


إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِيْ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَكَ؟ فَيَقُوْلُ : اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَ اللهَ ؟ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَقُلْ : أَمَنْتُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُذْهِبُ عَنْهُ

Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang di antara kamu, lalu bertanya, “Siapa yang menciptakanmu?” Ia menjawab, “Allah Yang Maha Tinggi.”’ Setan bertanya lagi, “Siapakah yang menciptakan Allah?” Apabila salah seorang di antara kalian menghadapi hal itu, maka katakanlah, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sesungguhnya perkataan itu dapat mengusirnya. (HR Ahmad, al-Bazzar, Abu Ya‘la, Bukhari dan Muslim)


Muhammad bin Wasi‘ membaca doa setiap hari selepas menunaikan shalat Subuh,


“Ya Allah, Engkau jadikan bagi kami musuh yang sangat mengetahui kekurangan-kekurangan kami. Dia dan pasukannya dapat melihat kami, sedangkan kami tidak melihat mereka.


Ya Allah, buatlah dia pesimis dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya pesimis dari rahmat-Mu. Buatlah dia berputus asa dari kami sebagaimana Engkau telah membuatnya putus asa dari ampunan-Mu.


Ya Allah, jauhkanlah antara kami dan dia sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara dia dan rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


Ibnu Hazm bertanya, “Siapakah setan itu? Mengapa ia ditakuti? Demi Allah, setan itu memang sudah pernah diikuti, akan tetapi mengikutinya sama sekali tidak berguna. Setan juga tidak mampu memberi apa pun.” Sementara itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Tidak ada makhluk yang lebih rendah dari setan.”


Agar selalu dalam penjagaan-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :


اللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِيْ وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَاِليْ وَمِنْ فَوْقِيْ وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah, peliharalah hamba di hadapan dan belakang hamba, di kanan dan kiri hamba, demikan pula dari arah atas hamba. Hamba berlindung dengan keagungan-Mu, sehingga hamba tidak diperdaya dari arah bawah hamba, amin.


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 23, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

Tentang minuman keras, Allah memerintahkan kita sebagai hamba-Nya untuk tidak meminum khamr dan perbuatan durhaka lainnya.


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib (dengan panah) adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS al-Mâidah [5] : 90)


Marilah kita ingat kembali larangan pemimpin kita, Rasulullah saw. tentang minuman yang memabukkan, termasuk di dalamnya adalah narkoba. Khamr terambil dari kata “khamara” yang menurut pengertian kebahasaan adalah “menutup”. Karena itu, makanan dan minuman yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal disebut juga khamr. Semua itu adalah ummu al-khabâits (biang keburukan), yang akan membawa kita melakukan yang dilarang agama.


كُلُّ مُسْـكِرٍ حَرَامٌ وَكُلُّ مُسْـكِرٍ خَمْرٌ

Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr. (HR Muslim melalui Ibnu Umar)


مَا أَسْـكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِـيْلُهُ حَرَامٌ

Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram.
(HR Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah)


لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَاۤكِلَ ثَمَنِهَا

Allah melaknat siapa yang meminum khamr (arak), menuangkannya untuk orang lain, menjual, membeli (atau membelikan untuk orang lain dengan uang milik orang yang menyuruh), membuat (memproduksi), minta dibuatkan, membawa, dibawakan dan yang memakan harganya (menadahnya). (HR Abu Daud dan Hakim)


الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِيْ بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِـيَّةً

Khamr adalah biang keburukan. Siapa meminumnya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Siapa meninggal sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak, maka dia mati dalam keadaan Jahiliyah. (HR Thabrani)


Dalam riwayat yang lain, Nabi saw. bersabda :


مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang minum arak hingga mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati (sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak), akan masuk neraka. Dan jika ia bertaubat, maka Allah menerima taubatnya.
Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
Jika ia kembali lagi mabuk, maka sungguh Allah akan menuangkan padanya radghah al-khabal (keringat ahli neraka).
(HR Ibnu Majah)


إِنَّ مَلِكًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ أَخَذَ رَجُلا فَخَيَّرَهُ بَيْنَ أَنْ يَشْرَبَ الْخَمْرَ، أَوْ يَقْتُلَ صَبِيًّا، أَوْ يَزْنِيَ، أَوْ يَأْكُلَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ، أَوْ يَقْتُلُوْهُ إِنْ أَبىَ، فَاخْتَارَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ، وَأَنَّهُ لَمَّا شَرِبَ لَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ شَيْئٍ أَراَدُوْهُ مِنْهُ

Seorang pemimpin Bani Israel memanggil seorang lelaki. Ia memberinya pilihan antara minum khamr, membunuh anak lelaki atau memakan daging. Atau orang-orang akan membunuhnya jika ia mengabaikan pilihan itu. Lelaki itu untuk meminum khamr. Selesai ia minum khamr, hal itu ternyata tidak menghalangi sesuatu yang mereka inginkan darinya (ia melakukan semua yang tadi diminta). (HR Thabrani)


Allah juga telah melarang kita untuk tolong-menolong dalam bermaksiat kepada-Nya.


وَتَعَاوَنُوْا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوٰى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى ٱْلإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS al-Mâidah [5] : 2)


Berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa melakukan hal yang dilarang agama akan membuat kita secara tak sadar ikut serta di dalamnya, misalnya menggunjing (ghibah). Bagi mereka, menggunjing orang lain ibarat bumbu dapur agar percakapan di antara mereka lebih lama dan lebih seru. Menurut mereka, menggunjing bukanlah sebuah kejahatan, apalagi berdosa. Namun, mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan, sebuah gunjingan akan menyebabkan buruk sangka terhadap orang lain. Mereka akan menyalahkan orang lain atas nasib jelek yang menimpa mereka. Mereka merasa lebih pantas mendapatkan semuanya dibandingkan orang lain. Mereka pun tak segan membuka aib orang lain, termasuk saudara sesama muslim. Bahkan, mereka menjadikan aib sesama sebagai bahan tertawaan. Mereka senang melihat orang lain jatuh dan terpuruk.

Tentang larangan menggunjing, mari kita baca lagi tulisan Membicarakan Orang/Kelompok Lain, Kebiasaan Kitakah? (1 of 2).

Kita memohon pertolongan Allah untuk menjaga diri kita setiap saat. Ketika kemaksiatan di depan mata, bukan hanya akal yang bicara, hawa nafsu pun akan berujar. Banyak orang berakal, namun mengapa banyak pula yang dikalahkan oleh hawa nafsu? Hanya dengan pertolongan Allah-lah kita bisa mengendalikan nafsu kita, agar menjadi nafsu yang mendapat rahmat-Nya; dan tergolong dalam nafsu yang dipanggil untuk menghadap-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Labid mengingatkan kita dalam bait syairnya :


Dustakanlah nafsu jika kamu berbicara dengannya

Sebab membenarkan nafsu hanya akan melambungkan angan


Agar senantiasa dibantu oleh-Nya, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah:


اللَّهُمَّ لاَتَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba sendiri (dengan pertimbangan nafsu akal hamba saja), walau sekejap, amin.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Al-Mundziri, al-Hâfizh, “At-Targhîb wat-Tarhîb”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (5 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 16, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

Modal seorang hamba adalah waktunya. Ia dapat menguntungkan dan membahagiakan, dapat pula merugikan dan menyusahkan. Jika kita menggunakan waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menggunakan waktu untuk memperoleh pahala di akhirat, maka sungguh kita telah menyia-nyiakan modal kita.

Waktu laksana emas, jangan sampai hilang begitu saja. Sang waktu datang dan pergi setiap saat, dan dalam setiap tarikan nafas. Ia berada pada langkah manusia, pada setiap gerakan dan detak-detak nadi. Lenyapnya waktu berarti lenyap pula kesempatan. Tiada terasa saat sang waktu sedang bersama kita, dan tiada terasa pula ketika ia berangsur habis. Jangan sampai waktu yang didapatkan hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir panas. Airnya menguap, sementara pasirnya tidak basah.

Ibnu Athaillah mengatakan, “Apa yang telah hilang dari usiamu tidak dapat diganti lagi. Apa yang telah engkau hasilkan dari usiamu haruslah hal yang tak ternilai harganya.”

Di buku “Membangun Dunia Baru Islam (Syuruth an-Nahdhah)”, Malik bin Nabi menulis, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa; membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu—selain Tuhan—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”

Ungkapan yang menunjukkan pentingnya waktu juga dicantumkan dalam sebuah pepatah Arab :

الْوَقْتُ كَالسَّـيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَـعْهُ قَطَعَكَ

“Waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya, niscaya ia memotongmu.”


Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian. Dengan “sedang” atau “yang akan datang”, waktu mengalahkan.

Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika kita memperlakukannya secara lembut, kita akan selamat. Dan jika sebaliknya yang terjadi, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi kita yang patuh pada hukum waktu, maka kita akan selamat. Bagi kita yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya. Janganlah kita mengisi waktu dengan hal-hal yang tiada guna.

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْـنِيْهِ

Diantara (tanda) baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.
(HR Tirmidzi)

Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan lakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, hindari musuhmu, hati-hati terhadap teman dari suatu golongan kecuali orang yang dipercaya, dan tidak ada yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berteman dengan orang jahat sehingga engkau belajar dari kejahatannya, jangan engkau beberkan rahasiamu kepadanya, dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah dalam segala urusanmu.”

Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak menyukai berlebihan dalam berbicara. Adapun yang mereka anggap sebagai kata-kata berlebihan adalah selain Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah, amar ma‘ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), atau ucapan yang mesti dikatakan demi kebutuhan hidup.”

Apakah kita mengingkari adanya dua malaikat penjaga (Raqib dan ‘Atid) di sebelah kanan dan kiri yang menulis apa yang kita ucapkan dan lakukan? Apakah kita tidak malu jika kelak kebanyakan catatan yang ditulis dalam buku amal kita adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan agama dan dunia kita?

مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَـتِيْدٌ

Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.
(QS Qâf [50] : 18)

Sebagaimana lazimnya, kejahatan lebih cepat menular dibandingkan kebaikan. Itulah kecenderungan hawa nafsu. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang tidak memuliakan, mula-mula memang kita hanya jadi penonton. Berikutnya kita diajak tapi dalam hal yang ringan, misalnya membelikan minuman keras bila mereka suka mabuk, tapi kita tidak disuruh meminumnya. Selanjutnya kita akan diajak serta untuk mencicipinya. Jika kita menolak, yang dikuatirkan adalah mereka akan mengejek dan mencemooh kita karena tidak mengikuti kemauan mereka. Kita akan dikucilkan, dianggap pengecut, tidak gaul, kuno, katrok, ndeso, udik, sok suci, tidak setia kawan atau hasutan dan ancaman lainnya.

Biasanya, bila seseorang sudah disinggung ketidakmampuannya atau merasa tidak diterima keberadaannya, maka dia akan mengikuti apa pun syarat yang diajukan agar semua hinaan, cemoohan dan tuduhan terhadapnya terhapus. Hal itu terjadi karena timbul kekuatiran menjadi seperti sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di seberang jalan, tak ada yang memperhatikan apalagi peduli; atau laksana secuil pecahan kaca di jalanan yang selalu dihindari bahkan disingkirkan orang. Ada ketakutan eksistensi diri dinafikan, seperti kata pepatah,

وُجُوْدُهُ كَعَدَمِهِ

“Keberadaanya sama dengan tidak ada.”


Nasi yang sudah menjadi bubur masih bisa dimakan, asalkan lauknya sesuai. Tetapi, jika kita sudah bergelimang dosa dan terjerumus dalam aktivitas yang tidak memuliakan, sanggupkah kita berjuang dengan semangat membara untuk keluar dari situasi itu? Padahal, ketika perjuangan masih ringan saja kita tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, mencegah harus tetap diutamakan. Mario Teguh menasihatkan bahwa tidak ada seorang kaisar pun yang cukup berkuasa untuk mengubah suatu kejadian atau peristiwa dalam rentang waktu yang disebut “tadi”.

Duhai jiwa!
Ayo bangkit dan siapkan dirimu tuk hari depan
Hindari nafsu yang membuatmu lupa daratan
Ayo bergegas menuju keselamatan
Ayo berjuang, berjuang, dan berjuang
Agar kau selamat dari azab yang membinasakan
Raih kemenangan hakiki di negeri keabadian
Selamatkan dirimu dari api yang menyengsarakan
(nasihat Ibnu Hazm)

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 9, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)

a. Setan dari Golongan Manusia

Memilih teman sangat dianjurkan. Bergaul dengan orang-orang baik dan shaleh, sungguh diperintahkan. Orang-orang shaleh mempunyai sifat seperti seekor lebah, makan dari makanan yang baik dan menghasilkan madu yang baik pula. Bila hinggap pada setangkai bunga, ia tidak pernah merusaknya. Kelembutan tutur kata, senyuman tulus di bibir, dan sapaan-sapaan hangat yang terpuji saat bersua merupakan hiasan yang selalu dikenakan orang-orang mulia.

Mungkin kita akan bertanya, “Apakah kita tidak boleh berkawan dengan orang-orang yang notabene banyak berbuat dosa? Apakah itu tidak berarti kita pilih-pilih dalam berteman? Bukankah semakin banyak teman semakin bagus?”

Bila kita termasuk orang yang kuat iman, teguh pendirian, kokoh jiwa dan hati serta hebat pengaruhnya, maka boleh saja berteman dengan orang yang tidak taat dan selalu bermaksiat kepada Allah. Tentunya dengan harapan agar kita bisa membawa mereka ke arah kebaikan atau untuk diambil pelajarannya. Minimal, kita tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif. Seorang bijak bestari berkata, “Aku mengetahui kejahatan bukan untuk melakukan kejahatan itu, tapi untuk menghindarinya. Siapa tidak mengetahui kejahatan, maka ia akan terjatuh ke dalamnya.”

Namun, jika kita adalah manusia biasa, yang hatinya terbolak-balik setiap saat, mudah dipengaruhi atau dipaksa—ibarat sehelai bulu ,jatuh di padang luas yang kosong, dihempas angin ke kanan dan ke kiri—maka pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS an-Nisâ’ [4] : 69)

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَيْئٌ أَصَابَكَ رِيْحُهُ وَمَثَلُ الْجَلِيْسِ السُّـوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيْرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ شَيْئٌ مِنْ شَرَرِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ

Perumpamaan teman yang shaleh itu seperti pemilik minyak misik (minyak wangi). Kalau toh minyak itu tidak mengenai kamu sedikit pun, maka engkau terkena bau harumnya. Dan teman yang jelek/jahat itu seperti pemilik alat pandai besi, kalau toh percikan apinya tidak mengenai kamu, maka kamu terkena sebagian asapnya. (HR Abu Daud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda dengan matan (kandungan isi) yang senada :

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْـتِنَةً
Sesungguhnya perumpamaan berteman dengan orang yang baik dan dengan orang yang buruk adalah seperti berteman dengan penjual parfum dan peniup api pada pandai besi. Jika kamu berteman dengan penjual parfum, maka boleh jadi kamu diolesi parfum atau minimal mendapatkan bau harum darinya. Adapun jika kamu berteman dengan peniup api, maka boleh jadi bajumu terbakar atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap. (HR Bukhari dan Muslim)

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang mengikuti agama kawannya. Karena itu, lihatlah olehmu siapakah yang menjadi kawannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ قَالُوْا بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوْا ذُكِرَ اللهُ تَعَالَىَّ
Maukah kalian kukabari tentang orang-orang pilihan (terbaik)? Sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau lalu berkata, “Yaitu orang-orang yang jika dilihat, diingat (pula) Allah Ta‘âla.” (HR Ahmad. Imam al-Haitsami juga mencantumkannya di “Majma‘ az-Zawâid”)

Ibnu Athaillah berpesan, “Janganlah kalian bersahabat dengan orang yang tidak membangkitkan semangat beribadah, serta ucapan yang tidak membawa kalian mendekati Allah. Apabila kalian berbuat salah, ia akan mengatakan bahwa itu kebaikan, sebab kalian bersahabat dengan orang yang perilakunya lebih jelek daripada diri kalian sendiri.”

Pada dasarnya persahabatan memengaruhi hidup manusia. Memilih pergaulan sebagai cara memperbagus persahabatan sama pentingnya seperti memilih makanan yang cocok dengan selera, juga makanan yang dapat memberi manfaat bagi kesehatan. Sebaik-baik orang yang bersahabat ialah mereka yang berjumpa karena Allah dan apabila berpisah juga karena Allah. Jangan sampai sahabat kita akan menenggelamkan diri kita sendiri, karena harus mengikuti kemauannya tanpa mengetahui tujuan dan arah yang jelas serta bermanfaat. Bersahabat dengan orang yang tidak memuliakan ibarat memenuhi hati dengan polusi nafas sehingga hati menjadi hitam pekat dan beban berat bagi jiwa.

Sebagai motivator, Mario Teguh menasihatkan bahwa mencari teman memang harus memilih. Dari kata “mencari”, sudah tersirat dan tersurat adanya aktivitas pemilihan. Misal, kita mencari permata yang hilang di sebuah gundukan pasir, apakah kita tidak memilih? Tidak mungkin setiap pasir kita masukkan ke dalam kotak perhiasan. Hanya yang benar-benar permatalah yang akan kita simpan. Dengan demikian, mencari adalah memilih. Mencari teman berarti memilih teman. Kalau tidak memilih, itu bukanlah mencari, tapi menemukan. Menemukan teman berarti kita tidak memilih, tiba-tiba saja bertemu. Semakin jelaslah perbedaan antara mencari teman dan menemukan teman.


Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006

  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000

  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (1 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 2, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (1 of 5)

Apabila kita masih bersatus pelajar atau mahasiswa, kita akan seringkali menerima nasihat dari orang yang lebih tua khususnya orang tua kita. Salah satu nasihat yang sering kita dengar adalah, “Hati-hati, jangan salah pergaulan. Jangan sampai terjerumus ke noda hitam, pergaulan bebas atau pemakaian narkoba.”


Mungkin kita akan mengomel bila menerima nasihat seperti itu, “Saya sudah besar, Pak. Saya sudah dewasa, bisa menjaga diri sendiri. Bapak jangan terus menasihati seperti itu. Itu artinya Bapak tidak percaya pada saya.”

Jika kita adalah orang yang sudah berumur, apalagi sudah lanjut usia, biasanya kita malah menolak mentah-mentah bila ada nasihat yang dialamatkan pada kita. Kita akan berkata, “Saya ini sudah berumur, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Saya sudah sangat mengerti antara benar dan salah, baik dan buruk. Tidak selayaknya saya dinasihati. Saya lebih bisa menjaga diri saya dibandingkan orang lain menjaga diri mereka masing-masing. Apalagi dibandingkan orang yang lebih muda dari saya, saya lebih tahu pahit getirnya hidup. Justru sayalah yang pantas menasihati orang lain, bukan sebaliknya.”

Memang, dalam hidup ini kita seringkali hanya memandang hal-hal yang tampak. Kita sering melupakan bahwa hawa nafsu mempunyai kecenderungan ke arah ketidakbaikan, kecuali nafsu yang mendapat rahmat dari Allah. Kita juga sering mengabaikan peranan setan dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil, kita selalu merasa bisa menjaga diri sendiri karena kepandaian, kecerdasan, ilmu dan pengalaman kita. Benarkah kita menjaga diri sendiri dari setan? Apakah bukan Allah yang menjaga kita? Lalu, buat apa kita membaca ta‘awwudz untuk memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk? Apakah itu hanya sekadar ikut-ikutan saja? Atau sebuah ritual tanpa makna? Mari kita perhatikan cerita pengantar berikut ini untuk memahami yang akan kita bahas.

Di dunia persilatan, tersebutlah seorang pendekar, Si Tangan Seribu—murid tertua Begawan Senomaya. Ia dijuluki demikan karena mempunyai pukulan mega dahsyat, yaitu Sasra Baja. Yang terkena pukulan ini, laksana diserang seribu tangan; sedahsyat ditimpa seribu gunung runtuh bersamaan. Ia juga menguasai tendangan secepat halilintar dengan julukan Tendangan Tanpa Bayangan.

Suatu hari datanglah seorang pendekar hendak “mengadu ke ujung penjahit,” menjajal kemampuan masing-masing pihak. Pendekar ini mempunyai julukan Jaka Geledek. Ia menguasai dua jurus pilih tanding, yaitu Rengkah Gunung dan Naga Angkasa. Rengkah Gunung adalah ilmu langka yang hampir punah. Hanya pewaris Panembahan Sokadarma yang memilikinya. Dengan ilmu itu, sekali pukul, sasaran akan serasa dihantam ombak raksasa yang sangat hebat, setara dengan tsunami. Adapun Naga Angkasa merupakan gabungan gerakan tangan dan tendangan kaki yang menari-nari dengan indahnya di angkasa raya. Bila ilmu ini dipraktekkan, pemiliknya seolah bisa terbang selincah rajawali, namun dengan serangan segarang naga.

Singkat cerita, mereka berdua bertarung untuk menentukan siapa pendekar sejati, tokoh yang paling dihormati dunia persilatan. Semacam kejuaraan nasional antar pendekar, namun tak resmi. Rengkah Gunung bertemu Sasra Baja. Ketika kedua ilmu itu beradu, benturan dahsyat pun tak terelakkan, bagai mendengar suara ratusan meriam ditembakkan secara serentak. Namun, tak ada yang jatuh. Keduanya hanya terhuyung beberapa saat, setelah itu mereka sudah berdiri dengan kuda-kuda kokoh. Ternyata penguasaan ilmu masing-masing sudah sempurna.

Begitu juga tatkala Si Tangan Seribu melancarkan tendangan yang sudah terkenal seantero jagad persilatan, Tendangan Tanpa Bayangan. Sebelumnya, tak ada satu pendekar pun bisa menghindar darinya. Tendangan ini benar-benar melebihi kecepatan suara, bahkan secara hiperbolik bisa dikatakan setara dengan kecepatan kilat. Namun, Jaka Geledek bukanlah pendekar ingusan. Naga Angkasa, salah satu dari dua ilmu tertinggi yang dia warisi dari gurunya adalah jurus tanpa tanding. Dengan kecepatan naga terbang, Jaka Geledek bisa menghindar dengan cantik dari tendangan Si Tangan Seribu. Mereka pun menari-nari di udara, bak dua ekor elang sedang berlatih bersama. Lama sekali pertarungan itu terjadi, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan mengembangkan senyum tanda kemenangan.

Mendadak pertarungan terhenti. Si Tangan Seribu meloncat mundur tujuh langkah. Betapa kaget Jaka Geledek melihat ancang-ancang yang dilakukan lawan tandingnya. Dengan duduk bersila khidmat, Si Tangan Seribu mengatur nafasnya dengan pernafasan segitiga sama kaki dan berkonsentrasi penuh. Jaka Geledek merasa di atas angin. Ia berencana menyerang Si Tangan Seribu saat itu juga. Namun, keberuntungan seolah tak berpihak padanya. Ketika dia melayangkan pukulan Rengkah Gunung ke arah lawan tarungnya, Si Tangan Seribu seolah lenyap ditelan angin, tak tampak mata. Dia benar-benar menghilang.

Tiba-tiba sebuah pukulan dahsyat menghantam dada Jaka Geledek, membuatnya terhuyung-huyung beberapa depa ke belakang. Pukulan demi pukulan diterimanya tanpa tahu siapa pelakunya. Sebagai selingan, kadang-kadang dia juga harus menerima dengan pasrah sebuah tendangan yang terasa seperti dihujani puluhan anak panah. Tak tahu harus berbuat apa, Jaka Geledek pun memukul dan menendang sekenanya. Si Tangan Seribu benar-benar tak kasat mata. Dengan ilmu menghilangnya, ia sangat leluasa melancarkan serangan tanpa perlawanan.

Walaupun cerita tersebut tidak penulis lanjutkan, penulis yakin kita sepakat tentang siapa yang akan memenangkan pertandingan perebutan gelar juara ini. Kita pasti akan menjagokan Si Tangan Seribu, karena dengan kesaktian sepadan, dia memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu menghilang, yang membuat lawan tandingnya tak tahu lagi keberadaannya.

Setan, hakikatnya adalah setiap perbuatan mungkar. Setan bisa dari golongan manusia maupun jin.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS al-An‘âm [6] : 112)

Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Raja manusia.
Sembahan manusia.
Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari (golongan) jin dan manusia.”
(QS an-Nâs [114] : 1-6)


Daftar Pustaka :

  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004

Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#