Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 19, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, sebenarnya kita telah melupakan bahwa kita hidup untuk beribadah kepada-Nya. Kita memberi informasi pada otak bawah sadar kita bahwa “menyembah” berarti ibadah ritual, sesuatu yang hukumnya wajib (fardhu) atau sunnah. Kegiatan sehari-hari kita anggap hukumnya mubah—dilaksanakan tidak berpahala, ditinggalkan pun tidak berdosa—jadi tidak termasuk ibadah. Untuk mengetahui keadaan diri, coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Kalau kita adalah murid sekolah atau mahasiswa, apa tujuan kita pergi ke sekolah, kuliah atau mengikuti bimbingan belajar?
  • Jika kita adalah pegawai dan suatu saat mengikuti kursus atau training, apa tujuan kita?
  • Sebagai orang yang sudah bekerja, buat apa kita bekerja?
  • Apabila ada tamu bertandang ke rumah, kemudian kita suguhkan sekadar makanan ringan, apa niat kita saat menyajikannya?
  • Tatkala kita akan mengikuti rapat, musyawarah, konferensi, muktamar atau sejenisnya, adakah yang kita niatkan dari rumah?
  • Jikalau kita membersihkan kamar kos, rumah, lingkungan atau sekolah (bagi para siswa), apa yang kita katakan di dalam hati sebelum melaksanakannya?
  • Saat kita membeli pakaian, kendaraan, rumah atau yang lain, apa niat kita?
Apakah dalam jawaban-jawaban tersebut, kita menyebut asma Allah? Apakah lafazh “Allah” terkandung di dalamnya? Jika tidak, mengapa?

Para ulama (terutama masa lampau) telah mengajarkan kepada kita agar berniat ketika melaksanakan sesuatu semata-mata karena Allah meski asalnya berstatus mubah, misal makan dan minum. Saat makan kita berniat agar kuat menjalankan ibadah lain, seperti membaca Al-Qur’an dan shalat. Ketika menyuguhkan hidangan untuk tamu, contoh niatnya adalah, “Saya niat menghormati dan memuliakan tamu karena Allah Taâlâ.

Waktu cepat berlalu. Zaman telah berubah, kebiasaan pun mengikutinya. Kandungan lafazh “Allah” dalam setiap niat dihilangkan demi mempersingkat kalimat, mempercepat waktu dan praktisnya kegiatan. Pada awalnya, walaupun lafazh “Allah” dihilangkan dari niat, tetaplah pada diri setiap insan selalu ingat bahwa itu semua untuk Allah. Dalam konteks bahasa, hal ini disebut Majas Metonimia.

Majas Metonimia adalah majas yang mengungkapkan sesuatu dengan menyebutkan sebagian dari orang atau barang yang dimaksud. Contoh penggunaannya adalah, “Saya suka membaca Chairil Anwar”. Yang dimaksud adalah, “Saya suka membaca puisi karya Chairil Anwar.” Contoh lain yang sering kita gunakan dalam keseharian yaitu, “Saya ingin membeli lima dos Aqua, Ades, Cheers, Vit dan Club.” Semua itu nama merk air minum dalam kemasan. Tanpa disebutkan “air minum dalam kemasan”, semua orang sudah mengerti maksudnya.

Bumi terus berotasi dan berevolusi. Waktu terasa lebih cepat berlalu. Zaman sudah modern, perbuatan pun tunduk padanya. Bagi sebagian orang, 24 jam sehari terasa sangat kurang untuk menjalankan beragam aktivitas. Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris disebut Information and Communication Technology (ICT) ini, berniat sudah dianggap membuang-buang waktu. Akhirnya setiap kegiatan dilakukan tanpa niat. Pokoknya, tahu sama tahu, sama seperti kemarin—idem.

Seperti kita pahami bersama, kita dibentuk oleh kebiasaan yang kita lakukan. Sebagai manusia, kita pun mempunyai sifat lupa. Sifat lupa ini sebenarnya banyak sisi positifnya. Andaikan ada seseorang tidak pernah lupa, tentu ia tidak akan bisa istirahat, apalagi tidur. Ia akan teringat akan masa lalunya yang bisa saja tidak menyenangkan. Apakah ia tidak akan trauma? Di sisi lain, karena kita terbiasa menghilangkan niat, maka kita akan lupa bahwa niat harus ada. Karena kita meniadakan lafazh “Allah” dalam niat, kita juga dibuat lupa bahwa harus ada Dzat sebagai tujuan kita.

Sebagai hasilnya, kita tidak merasa bahwa segala yang kita lakukan adalah ibadah kepada Allah. Ibadah-ibadah ritual sajalah yang benar-benar kita niatkan untuk-Nya. Itu pun karena niat termasuk rukun dalam ibadah tersebut, dan batal/tidak sah jika tidak melakukannya. Dan, kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat kita merasakan kedekatan diri dengan Allah hanya saat di dalam masjid, sedangkan di luar masjid, semua kegiatan kita tidak ada urusan dengan Allah. Begitulah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih “menakjubkan” lagi, jika pada masa kini ada seseorang yang tetap menjaga niat dalam setiap kegiatan, banyak orang akan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak praktis, atau lebih parah lagi, “sok alim”.

“Sok alim”, sebuah mantra yang bisa menggoyahkan keinginan untuk senantiasa dalam kebaikan.

“Sok suci”, sebuah mantra lain yang bisa menghancurleburkan semangat untuk meninggalkan perbuatan tidak baik.

Perlu kita pahami lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah. Janganlah kita sibuk mengurusi kekurangan orang lain, meremehkan apalagi mencemoohnya. Sebaliknya, jika ingin beribadah, jangan pula kita dipusingkan oleh ungkapan-ungkapan yang kurang enak didengar. Kita beribadah untuk mengabdi kepada-Nya, bukan untuk sebutan alim, shaleh atau sejenisnya.
Jadi, kalau dikatakan “sok alim”, jawab saja bahwa kita bukan orang alim. Jika disindir “sok suci”, katakan saja bahwa kita ini banyak dosa, tidak ada orang suci, kecuali para nabi dan rasul. Dengan menyadari dan mengakui kekurangan diri, kita tidak akan terbebani dengan sebutan-sebutan di atas. Terkadang, kalau sindiran tidak ditanggapi, atau hanya dibalas dengan senyuman, maka lama-kelamaan akan hilang sendiri. Tentang respons yang tepat, memang kondisional. Tugas kita adalah mencari cara untuk tetap berhubungan baik dengan siapa pun—karena itu juga ibadah, dan istiqamah melakukan kebaikan lainnya demi mengabdi kepada Allah.

Allah menganugerahkan umur sebagai simpanan kita. Dalam pandangan Allah, umur kita adalah umur yang pendek, bagai awan lalu. Jika kita mempergunakannya dengan baik, maka kita menjadi penghuni kenikmatan, surga nan abadi. Sebaliknya, apabila umur kita salah gunakan, maka neraka telah siap menanti.

Maka, wajib bagi kita untuk bersegera melaksanakan perbuatan shaleh sebelum tidak dapat melaksanakannya, sebelum dihalangi oleh pekerjaan, penyakit atau kematian. Rasulullah saw. bersabda:

اِغْـتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Jagalah (manfaatkanlah) lima perkara sebelum datang lima perkara : masa mudamu sebelum tua, waktu sehatmu sebelum jatuh sakit, masa kayamu sebelum jatuh miskin, waktu luangmu sebelum kau sibuk dan hidupmu sebleum matimu. (HR Hakim dan Baihaqi)

نِعْمَتَانِ مَغْـبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Ada dua nikmat yang membuat banyak orang tertipu, (yaitu) kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari)
Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
http://id.wikipedia.org/wiki/Majas

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment