Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 26, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)

Orang-orang shaleh dan orang-orang thaleh (fasik) keduanya mengadu dan menangis karena sempitnya umur. Orang-orang shaleh menangis karena berharap kalau saja mereka dapat menambah amal baiknya. Sedangkan orang thaleh menangis karena menyesal tidak bersiap-siap demi hari esok nan kekal. Mereka belum membekali diri dengan amal shaleh. Tentang amal shaleh, Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai, “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.” Tentunya hal ini harus disertai iman dan ilmu.


Ibnu Athaillah berpesan, “Penundaanmu untuk beramal karena menanti waktu senggang adalah timbul dari hati yang bodoh.” Waktu yang ada pada diri seorang manusia berpacu dengan usia, sedangkan usia diakhiri dengan maut. Waktu bertambah dan umur manusia terus menyusut. Siapakah yang mengetahui sampai kapan seorang anak manusia berkuasa atas waktunya di dunia ini?


“Kekecewaan dari semua kekecewaan adalah ketika kalian berkesempatan tetapi kalian tidak menghadap Allah. Saat sedang ada sedikit halangan, kalian juga tidak mendatangi Allah,” kata Ibnu Athaillah melanjutkan nasihatnya.


Al-Ghazali menasihatkan agar dalam hidup ini kita selalu menempa jiwa, jangan sampai kita terpesona oleh tipu dayanya dan terperdaya karena manipulasinya. Perlu kita sediakan waktu khusus untuk merenung—melakukan kontemplasi—berkata kepada jiwa kita,


“Bagaimana jalan pikiranmu, andai banjir besar melanda dan akan menenggelamkan penduduk suatu negeri, tetapi mereka tetap bertahan di tempat tinggal mereka dan tidak mengambil langkah-langkah penyelamatan karena ketidaktahuan mereka terhadap situasi yang terjadi; sedangkan engkau wahai jiwa, mampu meninggalkan mereka dan naik ke atas perahu agar selamat dari banjir itu?


Apakah masih terpikirkan olehmu bahwa musibah yang terjadi secara meluas itu akan menjadi baik dengan sendirinya, sehingga engkau tidak perlu menyelamatkan diri? Ataukah engkau akan segera mengambil langkah penyelamatan?


Jika musibah itu hanya terjadi beberapa hari atau minggu, dan engkau segera menyelamatkan diri—maka, apakah engkau wahai jiwa, tidak akan melarikan diri dari siksa abadi di neraka?
Wahai jiwa, isilah hidup ini dengan bersungguh-sungguh (mujâhadah) dalam mengabdi kepada Allah.”


Ibnu Athaillah berkata, “Sesungguhnya hamba Allah yang shaleh akan banyak meluangkan waktu untuk merenungkan dirinya, mengevaluasi amal ibadahnya, mencuci hati dan pikirannya dengan perenungan suci, dan memberi arah kepada pikirannya dengan logika yang sehat dan wawasan yang dalam. Di saat jiwa kita jernih, maka akan jernih pula hati dan pikiran kita. Saat hati kita lapang, maka akan lapang juga pikiran dan akal kita.”


Seseorang bertanya kepada al-Ghazali, “Jiwaku tidak mau mengikutiku untuk mujâhadah dan senantiasa menjaga wirid, lalu bagaimana cara mengobatinya?” Apabila jiwa telah diperbudak oleh hawa nafsu, maka jiwa itu telah kehilangan keseimbangan, cenderung dibelenggu oleh kesenangan maksiat, dan tidak merasakan perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta, Allah SWT.


Menjawab pertanyaan ini, Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Caranya adalah dengan memperdengarkan kepadanya (jiwa) berbagai hadits mengenai keutamaan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujtahidîn). Salah satu terapi yang paling bermanfaat adalah bersahabat dengan salah seorang hamba Allah yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, sehingga Anda dapat memperhatikan ucapan-ucapannya dan menjadikannya sebagai teladan.”


Di buku “Sentuhan Kalbu”, Permadi Alibasyah membuat perumpamaan yang begitu indah tentang kehidupan di dunia ini. Janganlah kita terlena akan kesenangan dunia yang sesaat, dan melupakan tujuan diciptakannya kita.


Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS al-Hadîd [57] : 20)


Perjalanan hidup manusia tak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara. Seorang penyelam mutiara, dalam melaksanakan tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang di punggungnya. Pada saat ia terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya. Tetapi begitu ia berada di bawah permukaan laut, ia mulai lupa pada apa yang harus dicarinya. Kenapa? Ternyata pemandangan di dalam laut sangat memesona. Bunga karang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya, ikan-ikan hias berwarna-warni saling berkejaran dengan riangnya membuatnya terpana. Ia pun terlena, lalu ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk mencari tiram mutiara yang berada jauh di dasar laut sana.


Hingga pada suatu saat, dia terkejut manakala disadarinya oksigen yang berada di punggungnya tinggal sedikit lagi. Timbullah rasa takutnya. Tak terbayang olehnya bagaimana kemarahan majikannya bila ia muncul ke permukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka dengan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram mutiara yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, energinya sudah habis terkuras bercanda ria dengan keindahan alam bawah laut.


Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mutiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi, karena tergesa-gesa dia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik, sehingga ketika tersenggol ikan yang berseliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah didapatnya dengan susah payah itu sebagian tertumpah ke luar.


Di permukaan, majikannya telah menunggu. Begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan, maka tumpahlah ketidaksenangan sang majikan. Saat itu juga si penyelam dipecat. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana gundahnya perasaan si penyelam.


Dengan penuh rasa penyesalan, si penyelam berusaha minta kesempatan ulang untuk menyelam kembali. Dia memohon,


“Tuan, ijinkanlah aku untuk menyelam lagi, pasti aku akan mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya.”


“Percuma engkau aku beri kesempatan, ternyata engkau hanya pandai membuang-buang oksigen saja!” tolak majikannya dengan tegas.


Kisah ini amat mirip dengan perjalanan hidup kita di dunia. Tabung oksigen adalah perlambang usia kita, tiram mutiara mengibaratkan pahala yang harus kita kumpulkan dan tiram mutiara yang tumpah mengumpamakan pahala yang hilang, misalnya karena riya’ (menampakkan amal shaleh agar dilihat orang lain supaya mendapat penghargaan atau kedudukan) dan sum‘ah (menceritakan amal shaleh agar didengar orang lain supaya dipuji). Adapun keindahan yang ada di dalam lautan melambangkan godaan-godaan kenikmatan duniawi.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (4 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment