Mencari Data di Blog Ini :

Friday, March 19, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)

Hidup ini memang penuh keanehan. Entah apa maksudnya, namun ada juga orang yang berkata, “Kalau kita ingin mengecek kebenaran Al-Qur’an, maka kita tidak boleh memihak atas dasar iman. Dengannya, kita benar-benar obyektif dalam menilai Al-Qur’an. Itulah logika yang tepat untuk memutuskan sesuatu valid atau tidak, benar atau salah.”


Kembali ke prinsip awal, janganlah kita menyalahkan orang lain atas pernyataan mereka yang memang terdengar aneh. Mungkin mereka memang belum mengerti, sehingga mencari kebenaran, dan semoga bukan sekadar mencari pembenaran atas pendapat pribadi.

Kalau orang seperti itu hanya mencari pembenaran atas pendapatnya, maka butuh usaha ekstra keras untuk bisa berdialog dengannya. Ia sudah menutup pintu masuk pendapat orang lain. Pikirannya telah dikunci dan dibentengi dengan segala macam argumen. Kata-kata maupun intonasinya juga kurang enak didengar, cenderung melindungi diri, kurang bersahabat bahkan menjatuhkan. Yang lebih enak, bila orang itu ingin mencari kebenaran.

Namun demikian, marilah kita bahas pernyataan tersebut. Bukankah akal memang diciptakan untuk memperkokoh iman? Bukankah Nabi Ibrahim pun ingin ditunjukkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang sudah mati? Bedanya, Nabi Ibrahim didahului iman, lalu di-“bumi”-kan dalam tataran akal. Sedangkan orang ini, dimulai dari akal, tanpa didahului iman. Semoga saja niatnya memang untuk mencari kebenaran, amin.

“Obyektif”, sebuah kata sakti dalam sebuah pendapat atau diskusi. Sebenarnya tidak ada yang disebut obyektif murni. Obyektif hakikatnya adalah subyektif. Kalau kita meminta pendapat pada si A tentang sebuah persoalan, maka dia akan berusaha untuk menyampaikan pendapat secara obyektif. Coba kita tanyakan hal yang sama pada 8 (delapan) orang yang lain. Dengan kata sakti “obyektif”, setiap orang juga akan memberikan pendapatnya. Pertanyaannya adalah, “Pendapat A yang katanya obyektif dan pendapat delapan orang lainnya yang juga obyektif, apakah sama? Ataukah berbeda? Jika memang berbeda, bukankah itu berarti pendapat-pendapat itu bersifat subyektif?”

“Logika”, sebuah kata sakti lain supaya dianggap modern dan ilmiah. Mari kita tanyakan pada logika tentang sebuah masalah. Contoh ini sudah kita ketahui bersama. Ada sebuah gelas yang berisi air setengahnya. Apa kata logika tentang kondisi ini? Logika pertama akan berkata, “Air di gelas itu separuh penuh.” Adapun logika yang lain mengatakan, “Air di gelas itu tinggal separuh.”

Siapa yang benar di antara kedua logika tersebut? Semuanya benar karena memang kondisinya seperti itu. Namun, efek yang ditimbulkan oleh masing-masing pernyataan sungguh sangat berbeda. Logika pertama akan membuat orang menjadi optimis, sedangkan logika kedua sebaliknya, membuat orang pesimis. Kenapa? Jawabannya sudah banyak dibahas di buku-buku tentang motivasi dan berpikir serta berjiwa besar. Jadi, tidak perlu lagi kita jelaskan di sini.

Logika juga yang menyatakan, “Setiap wadah menumpahkan isinya.” Sebuah teko akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Bila diisi air putih, maka akan keluar air putih dari teko itu. Begitu pun bila diisi air susu, madu atau air comberan. Isi yang keluar sesuai dengan yang diisikan di dalamnya. Nah, kalau kita mau membahas Al-Qur’an tanpa didahului iman, hanya bermain logika, maka sudahkah otak kita terisi hal-hal yang baik dan hebat? Bukankah sudah diketahui bersama bahwa orang yang paling cerdas pun tidak sampai menggunakan 5% dari kemampuan otaknya? Lalu, sehebat apakah logika (kemampuan) kita?

Marilah kita lihat lagi secanggih apa logika kita. Di sini tidak ada benar atau salah, hanya untuk melihat kemampuan logika kita.

Suatu ketika, Thomas Alfa Edison menguji dua orang calon karyawan. Tesnya sederhana saja, yaitu mengukur volume sebuah bola lampu.

Calon karyawan pertama mengukur dengan teliti setiap bagian bola lampu, mulai jari-jari lingkaran, panjang, lebar, tinggi dan semua yang dibutuhkan. Dia melakukan perhitungan matematis yang cukup rumit, menggunakan rumus integral rangkap tiga (∫∫∫). Akhirnya, dia pun menemukan berapa volume bola lampu itu.

Calon karyawan kedua menggunakan cara lain. Dia mengisi bola lampu dengan air sampai penuh, kemudian air itu dituangkannya ke sebuah gelas ukur. Dari gelas ukur itulah diketahui berapa volume bola lampu yang dimaksud. Kedua-duanya berhasil menghitung volume bola lampu sesuai permintaan. Apakah logika kita bisa menemukan cara selain yang dipaparkan oleh dua calon karyawan itu?

Di sebuah perusahaan yang memproduksi sabun mandi batangan, ternyata ada kesalahan mesin. Ditemukan beberapa sabun mandi yang sudah terbungkus rapi, tapi isinya kosong. Bagian QC (Quality Control) jadi sibuk sekali karena harus memeriksa satu per satu sabun hasil produksi. Perusahaan itu akhirnya mendatangkan dua orang ilmuwan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu mengetahui sabun-sabun kosong dan memisahkannya dari sabun yang ada isinya.

Ilmuwan pertama melakukan analisis lengkap. Dia membuat sebuah studi kelayakan (feasibility study). Dia melakukan analisa secermat mungkin dengan menggunakan semua metode, yaitu Cost-Benefit Analysis, Risk Analysis dan Capital Investment Analysis. Dia menghitung dengan teliti tentang Payback Period, Cost-Benefit Ratio, Return on Investment (ROI), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Setelah dikalkulasi, dia membutuhkan waktu 7 bulan dan dana sebesar Rp 700.000.000,- untuk membuat sinar infra merah lengkap dengan robot yang bisa menyingkirkan secara otomatis sabun-sabun kosong.

Ilmuwan kedua mengusulkan agar ketika sabun-sabun itu selesai diproduksi, dalam perjalanan menuju bagian packaging, dipasang saja sebuah kipas angin. Kipas angin itu diputar dengan kecepatan yang cukup untuk menerbangkan sabun-sabun kosong. Dua orang ilmuwan itu telah berhasil menemukan metode menemukan sabun kosong dan menyingkirkannya. Logika mereka sama-sama benar, walaupun beda caranya. Nah, logika kita akan memilih solusi yang mana? Ataukah kita punya solusi sendiri sesuai logika kita?

Para astronot mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa menulis dengan pulpen ketika berada di angkasa. Kalau di bumi, tinta yang ada di pulpen bisa keluar dari tempatnya karena ada gravitasi bumi. Sedangkan di angkasa, gravitasi bumi kecil sekali, juga ada gaya sentripetal. Itu artinya tinta pulpen tidak akan pernah keluar, dan itu berarti para astronot tidak bisa menulis apa pun. Penulisan pada kertas tetap dibutuhkan, selain karena praktis, juga sebagai backup, bagian dari contingency atau disaster recovery plan. Dua orang fisikawan didatangkan.

Fisikawan pertama mengatakan akan melakukan penelitian. Dia akan membuat sebuah percobaan dengan menggunakan berbagai zat cair dan gas. Dia berharap akan menemukan sebuah pulpen jenis baru yang bisa digunakan untuk menulis di angkasa. Dia membutuhkan waktu selama 3 bulan dengan biaya Rp 255.255.000,-.

Ahli Fisika kedua mengatakan, “Kenapa kita harus menggunakan pulpen? Bukankah tujuan utamanya supaya bisa menulis? Pakai saja pensil. Di manapun kita berada, kita tetap bisa menulis, tidak perlu gravitasi.” Nah, condong ke pendapat siapakah logika kita? Atau, logika kita mempunyai pendapat sendiri?

Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment