Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 16, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (4 of 12)

Kalau kita hanya mengandalkan kemampuan logika, mengingkari karamah atau mukjizat dan merasa mengerti betul tentang sunnatullah; mari kita tanyakan sebuah peristiwa kepada logika kita, “Bagaimana mungkin Siti Maryam melahirkan Nabi Isa as., sedangkan beliau belum terjamah oleh laki-laki? Bagaimana pula Nabi Isa as. dapat berbicara ketika masih bayi?”


Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”


Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”


Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannnya suatu tanda bagi manusiadan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan’.”


Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.

(QS Maryam [19]: 19-22)

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.


Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina!”


Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?”


Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.


dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;


dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.


Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku (akan) meninggal dan pada hari aku (akan) dibangkitkan hidup kembali.”


Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.


Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah,” maka jadilah ia.


Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.


(QS Maryam [19]: 27-36)


Terhadap kisah tersebut, apa kata logika kita? Apakah logika kita mengatakan bahwa semua kisah itu mengada-ada, karena tidak sesuai dengan sunnatullah yang kita ketahui?


Perlu kita ingat lagi bahwa iman harus terlebih dulu ada. Janganlah hanya karena logika kita belum bisa merasionalisasi suatu kejadian, kemudian kita menghakimi dan memvonis secara sepihak. Bukankah logika hanya akan memproses sesuatu sesuai informasi, ilmu, pengalaman dan sudut pandang yang kita miliki? Apakah kita merasa telah mempelajari semua disiplin ilmu, mempunyai pengalaman yang sangat lengkap dan sudut pandang yang menyeluruh seperti lingkaran (360 derajat, integral holistic), bukan parsial?


Kita andaikan saja saat ini bukan zaman modern. Sampai hari ini belum ditemukan listrik oleh Thomas Alfa Edision, telepon oleh Alexander Graham Bell, gelombang elektromagnetik oleh Heinrich Rudolf Hertz, dan radio oleh Guglielmo Marconi; dan keempat orang itu hidup pada masa sekarang. Minyak bumi juga belum ditemukan. Dalam kehidupan seluruh umat manusia di bumi, kita masih diterangi oleh cahaya api dari kayu bakar, sesuai dengan ayat Al-Qur’an, “yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu (pohon) yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu” (QS Yâsîn [36]: 80). Bila kita berbicara, suara kita bisa didengar oleh lawan bicara dalam jarak dekat. Kalaupun berteriak, tidak lebih dari 415 meter, suara kita sudah hilang ditelan angin.


Apa yang akan kita katakan pada mereka, seandainya Bell, Hertz dan Marconi memberi tahu kita bahwa suara kita bisa didengar oleh orang yang berada di jarak berkilo-kilo meter jauhnya? Bagaimana pendapat kita jika Edison mengumumkan bahwa sebuah benda bisa mengeluarkan cahaya sangat terang sehingga bisa menerangi rumah, bahkan bila diatur sedemikian rupa bisa menerangi dunia? Padahal semua itu tidak ada di dalam Al-Qur’an—hadits—atsar (perkataan sahabat/tabi‘in), menyimpang dari kondisi masyarakat internasional (khâriq al-‘âdat) dan tidak terpikir oleh nalar kita, bahkan nalar semua orang?


Apakah kita akan mengatakan bahwa mereka telah tersesat, melanggar sunnatullah, melakukan syirik, khurafat, klenik, tahayul, membual, bahkan tidak menggunakan akal sehat? Apakah semua itu akan kita lakukan hanya karena logika kita belum mampu untuk mencernanya? Ataukah karena kita merasa bahwa kitalah yang paling mengerti kandungan Al-Qur’an serta hadits tentang hidup dan kehidupan? Adakah kita juga mengira bahwa hanya kita yang paling paham maksud ayat-ayat Allah (qauliyah maupun kauniyah) dan hadits-hadits rasul-Nya?


Apakah kita akan mengatakan bahwa Galileo Galilei memang pantas dihukum karena membuat pernyataan bahwa bumi ini beredar (berotasi mengelilingi sumbunya dengan kecepatan lebih dari 1600 km/jam sambil berevolusi mengelilingi matahari dengan kecepatan lebih dari 16.000 km/jam), sedangkan logika kita berkata sebaliknya—jika memang bumi beredar sedemikian cepat, kenapa kita tidak merasakannya dan tidak pula terlempar darinya?


Karena penulis pernah menjumpai seseorang yang masih belum mengerti jika memang bumi berputar, oleh karena itu perlu penulis tampilkan di sini penjelasan Prof. Robert L. Wolke, guru besar kimia emeritus di University of Pittsburgh, Pennsylvania—Amerika Serikat. Kenapa di bumi kita bisa berjalan; bisa mengejar hewan? Padahal bumi kan berputar. Bagaimana penjelasan ilmiah/logisnya?


Kita bisa melakukan itu semua karena bumi berputar dengan kecepatan konstan (tetap), tidak berubah-ubah. Sebagai ilustrasi, jika kita naik bus, kereta api atau pesawat, bukankah kita bisa jalan-jalan di dalamnya? Bukankah kita bisa mengejar orang di dalamnya? Itu semua bisa kita lakukan karena kecepatan kendaraan konstan. Coba saja bila bus, kereta api atau pesawat sering berubah kecepatannya, misalnya sedikit-sedikit ngerem atau ngegas, tentu kita susah sekali berjalan apalagi kejar-kejaran di dalamnya.


Apakah kita akan mengatakan bahwa bumi ini datar dan mengingkari penemuan bahwa bumi berbentuk bulat dengan agak lonjong di ujung? Sedangkan logika kita mengatakan, jika bumi tidak datar berarti ketika posisi kita di bawah (lihat globe), kita akan terjatuh? Dan, itu semua kita katakan hanya karena kita belum memahami teori gravitasi yang ditemukan oleh Newton? Juga karena kita belum pernah ke luar angkasa? Padahal yang sebenarnya terjadi adalah logika mereka jauh di atas logika kita, karena pemahaman mereka yang memang jauh lebih baik.


Apakah kita akan mengatakan bahwa mukjizat para nabi atau rasul dan karamah para wali hanyalah cerita yang dibesar-besarkan serta dibuat-buat; hanya karena kita tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu dan tidak sesuai logika kita? Bahkan, jika kita menyaksikannya secara langsung, kita tetap akan mengingkarinya karena kita tidak bisa berbuat hal yang sama?


Apakah kita akan mengatakan bahwa apa pun yang menurut akal kita tidak mungkin, berarti tidak sesuai dengan sunnatullah? Kemudian kita mencari hujjah—dalil ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi atau argumen lain yang harus mendukung opini kita—dan bila tidak sesuai pendapat kita, lantas kita tafsirkan agar sesuai dengan logika kita? Bahkan, bila tidak bisa disesuaikan dengan akal kita, langkah terakhir adalah kita pertanyakan keshahihan hadits tersebut, atau penafsiran oleh para ulama yang kita salahkan—dengan dalih bahwa dalil itu mengandung keraguan, bisa ditakwilkan dan mempunyai banyak arti?


Apakah kita akan mengatakan bahwa kita sangat mengerti dan paham 100% tentang apa serta bagaimana cara kerja sunnatullah itu? Adapun orang lain yang berbeda pemikiran dengan kita, kita anggap tidak mengerti sunnatullah dan tidak pernah belajar tentangnya?


Daftar Pustaka :

  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Robert L. Wolke, Prof, “Kalo Einstein Lagi Cukuran Ngobrolin Apa Ya? (What Einstein Told His Barber – More Scientific Answer to Everyday Questions)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Agustus 2004


Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (3 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (5 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment