Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 30, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (6 of 12)

Apa yang dinamakan hukum alam tiada lain kecuali “a summary or statistical averages” (ikhtisar dari pukul rata statistik). Einstein dengan tegas menyatakan bahwa semua yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior), yang dalam bahasa Al-Qur’an adalah Allah Yang Maha Perkasa (Al-‘Azîz) lagi Maha Mengetahui (Al-‘Alîm).

Schwart, seorang pakar matematika Prancis menyatakan, “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, sampai pun kepada sajak. Sedangkan Fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun.” Sementara itu, Teori Black Hole menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3%, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia.

Kierkegaard, seorang tokoh Eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Emanuel Kant pun berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hati saya untuk percaya.”

Mengingat masing-masing dari kita pasti punya kekurangan, janganlah kita menjadi katak dalam tempurung—yang hanya menilai secara sepihak—tanpa mau memperbaiki diri dengan terus-menerus belajar. Mario Teguh berpesan, “Kita seringkali hanya mendengar apa yang ingin kita dengar, dan melihat apa yang ingin kita lihat.” Itulah yang membuat kita tidak bisa berkembang dengan cepat, jika tidak ingin dikatakan tidak berkembang sama sekali.

Seorang pemenang dua kali hadiah Nobel, Albert Szent-Györgyi, M.D, Ph.D menjelaskan, “Penemuan terdiri dari melihat sesuatu yang sama seperti setiap orang lain tetapi menghayatinya secara berbeda.”

Mungkin suatu saat—dengan karunia dari Allah—perkembangan ilmu dan teknologi bisa menjelaskan lebih baik lagi bagaimana mukjizat para nabi atau rasul dan karamah para wali terjadi. Wallâhu a‘lam. Imanlah yang didahulukan, kemudian akal memperkokoh iman. Pertama, kita harus iman (percaya) akan adanya hari akhir, kemudian menjadi yakin (tingkatannya lebih tinggi dari percaya) karena memang tidak bertentangan dengan akal.

Marilah kita bersama-sama belajar secara berkelanjutan kepada ahlinya. Marilah kita bersatu padu untuk mencari kebaikan, dengan cara yang santun, anggun, ramah dan baik. Asalkan semuanya kita niatkan sebagai pengabdian kepada Allah, insya Allah semua hal bisa diselesaikan dengan baik. Kebenaran hanyalah milik Allah. Dengannya, kita berucap, “Wallâhu a‘lam bish-shawâb.”

Kembali ke pembahasan tentang doa sebagai visi dan misi, karena kita adalah manusia biasa, maka kita harus patuh pada hukum alam sesuai yang diketahui saat ini. Dengan doa yang penuh pengharapan, berarti kita menanamkan keinginan tersebut ke otak bawah sadar kita. Hal itu akan membuat kita terus ingat atas yang kita inginkan dan berusaha untuk meraihnya (seperti hipnoterapi). Kita akan bekerja lebih keras dengan cara-cara yang lebih baik dan lebih cerdas untuk menggapai harapan kita. Dengan kondisi ini, insya Allah doa kita akan cepat terkabul. Kita telah melakukan yang seharusnya dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya, dan kita juga sudah melaksanakan hal-hal yang sesuai dengan hukum alam yang disepakati pada masa sekarang.

Karena doa adalah visi dan misi, maka doa bisa juga dianalogikan sebuah impian besar. Di buku-buku karyanya, Mario Teguh menjelaskan lebih detail tentang impian ini.

Kita tidak boleh bernegosiasi dengan impian kita. Bernegosiasilah dengan apa yang harus kita lakukan untuk mencapainya. Berdoalah agar kita diberi kemampuan sesuai tugas yang kita emban. Janganlah kita berdoa agar diberi tugas sesuai kemampuan kita.

Tanpa memimpikan keadaan yang lebih baik di masa depan, kita akan kehilangan ketertarikan untuk hidup dengan sepenuhnya. Padahal ketertarikan itu adalah tenaga yang memaksa kita untuk melangkah maju. Tenaga itulah yang membedakan jauhnya perjalanan yang akan ditempuh oleh seseorang; tingginya dan juga indahnya perjalanan itu bila dibandingkan dengan perjalanan yang tidak bertenaga.

Karena hidup ini seyogyanya direncanakan, dan karena impian itu bisa menjadi tenaga bagi upaya pencapaian kualitas hidup yang kita inginkan, maka sebenarnya memimpikan sesuatu adalah sebuah bentuk perencanaan. Impian meliuk lepas dari sarang-sarangnya di angan-angan kita, menuju kenyataan melului lorong-lorong tindakan yang nyata.

Kita tidak akan bisa memungkinkan tercapainya sebuah impian hanya melalui impian-impian yang lain. Kita tidak bisa mengubah mimpi menjadi kenyataan, hanya dengan memimpikan cara-cara mencapainya. Kita harus melakukan sesuatu, dan lakukanlah itu segera.

Begitu sebuah impian berhasil keluar menjadi kenyataan, dia akan memberikan tenaga kepada sang empunya mimpi, untuk memimpikan pencapaian-pencapaian berikutnya. Itu sebabnya, impian selalu berlari lebih cepat dan selalu berada di depan kita.

Bila impian itu indah, dan yang mengejarnya juga mewarnai dirinya dengan sikap-sikap yang baik, maka pengejaran mimpi itu bisa menjadi sebuah perjalanan yang ringan, lincah, ceria dan menyemangati. Dalam keceriaan itu, tanpa kita sadari sebetulnya kita telah mencapai kursi yang kemarin diduduki oleh impian kita, saat dia beristirahat melepas lelah.

Sebetulnya, banyak di antara kita telah hidup dalam impiannya. Hanya saja kecepatan lari impian kita meninggalkan tempat yang telah kita capai itu, membuat kita lupa bahwa kita telah pernah sampai.

Dia yang kesibukannya adalah merajut permadani dengan benang yang terbuat dari serat-serat otot dan otaknya, dengan pola dan corak warna-warni impiannya, telah mencapai bentuk tertinggi dari kehidupannya.

Selain nasihat para movitator seperti di atas, kiranya perlu kita ketahui perkembangan ilmu dewasa ini. Dalam hal pencapaian impian, saat ini para ilmuwan barat berusaha merasionalisasikan terkabulnya sebuah keinginan atau doa. Mereka mendasarkan diri pada disiplin ilmu Fisika Quantum.

Dijelaskan bahwa tubuh kita adalah miniatur jagad raya (mikrokosmos), sedangkan jagad raya sesungguhnya disebut makrokosmos. Jika kita mempunyai sebuah keinginan atau memikirkan sesuatu, maka diri kita akan mengeluarkan energi yang memancar ke jagad raya. Energi itu akan menarik energi-energi yang akan mendukungnya menjadi kenyataan. Mereka menyebutnya “Hukum Tarik-Menarik”, yang dalam bahasa Inggris disebut The Law of Attraction. Hukum Tarik-Menarik adalah hukum alam. Hukum ini sama pentingnya dengan Hukum Gravitasi.

“Permintaanmu adalah tugasku (Your wish is my command),” seperti itulah kira-kira dukungan semesta terhadap pikiran kita. Kita seperti sebuah menara penyiaran, yang memancarkan frekuensi dengan pikiran-pikiran kita. Jika kita ingin mengubah sesuatu di dalam hidup kita, ubahlah frekuensi dengan mengubah pikiran kita.

Pikiran bersifat magnetis, dan pikiran memiliki frekuensi. Ketika kita memikirkan pikiran-pikiran, semua itu akan dikirim ke semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar akan kembali ke sumbernya—Kita.

Pikiran yang sedang kita pikirkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan kita. Apa yang paling kita pikirkan atau fokuskan akan muncul sebagai hidup kita. Pikiran kita akan menjadi sesuatu.

Misalnya pada suatu pagi kita minum secangkir kopi hangat, namun tanpa sengaja tumpah, dan mengotori baju kita. Ternyata reaksi kita tidak baik ketika itu terjadi, contohnya mengeluh, mengomel bahkan mengumpat. Ini berarti kita mengirimkan energi negatif ke alam semesta, dan itu akan menarik energi-energi negatif pula. Dengan demikian, hari itu akan kita lalui dengan kesedihan atau kejadian yang tidak menyenangkan. Bisa saja pada siang harinya kita ada masalah di sekolah/kantor, bertengkar dengan teman dan keadaan tidak membahagiakan lainnya. Namun, bila sikap kita tenang dan sabar ketika kopi pagi hari itu tumpah, maka mikrokosmos dalam diri kita mengirimkan energi positif ke makrokosmos. Dengannya, kita akan menjalani hari dengan kegembiraan.


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Rhonda Byrne, “Rahasia (The Secret)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima : Juni 2007
  • Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf, “Executive EQ – Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Januari 2001

Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (5 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (7 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment