Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 28, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (7 of 9)

Tatkala sore menjelang, kita terbang menggunakan pesawat jet pribadi menuju Bali untuk melihat sang surya terbenam di ufuk. Sesampainya di sana, matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya mulai bersulam kemerahan. Rona merah yang menyertai sun set, ditambah semilir angin Tanah Lot membuat tubuh kita terasa segar, darah pun mengalir bak aliran sungai nan bening, nyaris tanpa halangan. Semburat cahaya kemerahan yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan memandikan batu karang nan bersih. Terasa sejuk dan indah. Seolah tak ada panorama yang bisa menggantikannya.



Sambil menikmati secangkir teh/kopi hangat, secara lamat-lamat kita sruput (meminum perlahan sambil merasakan getarannya di bibir, lidah dan langit-langit rongga mulut), kita bersantai diiringi alunan musik klasik dalam format MP3/MP4. Beriringan kita dengarkan alunan simfoni Ludwig van Beethoven dan Wolfgang Amadeus Mozart. Merasakan efek positif simfoni demi simfoni, tubuh kita pun menjadi rileks, serasa dipijit-pijit dengan penuh kasih sayang dan kemesraan. Selanjutnya concerto indah dari Johann Sebastian Bach dan Antonio Vivaldi silih berganti menyentuh lembut pendengaran kita. Disusul kemudian oleh permainan piano Sonata Evelyne Dubourg – Rondo Alla Turca pada A, dan diakhiri dengan Haydn –Trumpet Concerto pada E flat. Amboi, betapa syahdunya. Dengan bibir mengembang senyum, kita nikmati sore yang meneduhkan jiwa. Mungkin lebah akan cemburu pada kita di kondisi itu, karena senyum kita ternyata lebih manis dibandingkan madu yang diproduksinya.


Sebagaimana pecinta alam, demi refreshing, kita juga mendaki gunung (hiking) dan menggelar kemah tuk berteduh (camping). Berbagai pegunungan di seluruh nusantara telah kita jelajahi dan taklukkan. Sebagai mantan pramuka dengan pangkat terakhir “Penggalang Terap”, kita telah terlatih membaca kompas dan tanda-tanda alam. Pengalaman mengikuti Jambore Nasional di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur menambah wawasan tentang banyak hal. Ibarat Angkatan Bersenjata atau Kepolisian, level kita sebagai penggalang terap setara dengan perwira pertama dengan pangkat Kapten atau Ajun Komisaris Polisi, sebuah posisi yang cukup mentereng. Tanda Kecakapan Khusus (TKK) yang kita miliki sangatlah banyak, sehingga dibutuhkan selempang untuk memasang semuanya. Tanda Kecakapan Khusus ialah tanda yang diberikan kepada peserta didik sebagai bentuk apresiasi atas kemampuan seorang peserta didik dalam suatu bidang tertentu. Kita pun mirip seperti seorang prajurit dengan sejumlah brevet (tanda kualifikasi) dan tanda jasa karena tugas operasional.


Macam-macam tali-temali yang merupakan syarat utama untuk berkemah dan camping kita pahami dengan baik, yaitu simpul pangkal, jangkar, mati, hidup, anyam, anyam berganda, kembar dan simpul ujung tali. Berbagai sandi untuk komunikasi rahasia juga kita kuasai dengan sempurna, misalnya Morse, Semaphore, ANNA (lawan 1), AZZA (lawan 2), Kimia, Kotak, Rumput dan Ular. Bahkan, kita juga mengembangkan sendiri sandi baru dengan enkripsi 1024 bit, layaknya seorang hacker handal. Hacker adalah seseorang yang ahli di bidang rekayasa perangkat lunak. Hanya saja saat ini istilah hacker diinterpretasikan lain, sehingga kesannya negatif, padahal sebenarnya tidak seperti itu.


Kala malam merayap agak cepat, kita menikmati keindahan angkasa raya, bertaburan bintang, bersinarkan cahaya rembulan saat purnama. Purnama seolah tersenyum dan bertasbih bersama bintang-bintang dan angin malam. Di depan api unggun, dengan ditemani kekasih tercinta, bak seorang astronom, kita amati rasi bintang yang ada. Rasi bintang atau konstelasi adalah sekelompok bintang yang tampak berhubungan membentuk suatu konfigurasi khusus. Dalam ruang tiga dimensi, kebanyakan bintang yang kita amati tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, tetapi dapat terlihat seperti berkelompok pada bola langit malam. Kita hapal di luar kepala 88 jenis rasi bintang modern, diantaranya yaitu Hydra, Ursa Major, Cassiopeia, Eridanus, Pegasus, Chamaeleon dan Scutum. Jenis rasi bintang yang diajarkan waktu SD pun masih kita ingat, misalnya rasi bintang Waluku (Orion), rasi bintang Biduk (Pedati Sungsang) yang tampak di langit sebelah utara dan rasi bintang Pari (Gubug Penceng) sebagai pedoman arah selatan. Memandang bintang berkelap-kelip seperti lampu-lampu indah yang dipasang saat menyongsong hari kemerdekaan negara tercinta, kita pun berpuisi:


Kupandangi dan kugembalakan bintang di angkasa
Kugiring dan kuperhatikan ia dalam setiap pendar mata
Bintang gemintang dan malam seumpama setitik api
Yang membakar hati dan pikiran hingga malam menepi

Aku serupa penjaga, berjalan di atas hamparan taman
Kalau saja Ptolemius masih hidup, ia kan tegaskan,
“Dialah hamba terhebat, penghitung bintang gemintang”
(karya Ibnu Hazm)


Bila bosan dengan wisata dalam negeri, kita bisa mengunjungi salah satu keajaiban dunia, yang sempurna karena ketidaksempurnaannya, yaitu menara Pisa (Torre pendente di Pisa), Italia yang dibangun tiga tahap dalam jangka waktu 200 tahun sejak 9 Agustus 1173. Wow!. Kemiringan menara, yang sebenarnya adalah sebuah kekurangan dari segala jenis bangunan, justru membuatnya menakjubkan. Tak perlu kita pikirkan siapa sebenarnya sang arisitek, selain masih kontroversi, juga berganti-ganti; yang pasti mereka telah membuat kesalahan yang membanggakan.


Untuk menyaksikan keajaiban air, kita berwisata ke air terjun Niagara yang sungguh memukau dan membuat setiap orang yang memandang berdecak kagum. Air-air kecil yang memantul, tampak seperti dilemparkan oleh bebatuan, terasa menyejukkan mata. Gelora air untuk menuruni tebing, berkejar-kejaran, susul-menyusul, laksana bocah-bocah tanpa dosa bermain dengan riangnya. Air yang jernih dan tampak putih, ditambah kondisi udara yang sejuk di kawasan air terjun, seolah memandikan jiwa, membuatnya segar-bugar dan penuh semangat.


Merasakan asyiknya bersalju ria, kita melakukan aktivitas ski es di Pegunungan Alpen, Swiss atau di Selandia Baru. Lebih mengesankan lagi karena kita juga menjelajah seluruh keajaiban alam di 5 samudera (Arktik, Atlantik, Hindia, Pasifik dan Selatan) serta 7 benua (Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Antartika, Asia, Eropa dan Australia/Oceania) yang ada di planet bumi ini. Bila masih belum puas, saat ini sudah tersedia paket wisata ke luar angkasa. Bagi kita, tak ada masalah dengan biaya, karena kitalah konglomerat nomor wahid di alam mayapada ini.


Kita juga mampu melakukan haji setiap tahun dan umrah setiap saat. Berkunjung ke bait Allah, berdoa dengan penuh pengharapan di multazam dan hijir Ismail, shalat dekat maqâm Ibrahim (batu tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika membangun Ka‘bah), napak tilas pencarian air oleh Siti Hajar dengan melaksanakan sa‘i antara Shafa dan Marwah, mencium hajar aswad serta meminum air zam-zam. Di masjid Nabawi, kita shalat dengan khudhu‘ dan khusyu‘ di Raudhah dan berziarah ke makam kekasih sekaligus junjungan kita, Rasulullah Muhammad asw. (‘alayhish shalâtu was salâm). Bila kita ingin ke bumi para Nabi, dengan leluasa kita bisa mengunjungi bumi Kinanah, negara Mesir. Menapaktilasi para Nabi, sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in, salafus shaleh, menyaksikan mumi Fir‘aun dan tokoh-tokoh dunia lainnya, selalu terbuka kesempatan bagi kita untuk melaksanakannya sesuka hati, kapan pun terbersit keinginan.



Daftar Pustaka:

  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007


Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (6 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (8 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 21, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (6 of 9)

Ketika sakaratul maut, sikap apa yang harus dimiliki? Dinasihatkan bahwa kita harus rajâ’ (penuh pengharapan) dan prasangka baik kepada Allah. Bila rasa takut (khawf) yang mendominasi, maka akan meresahkan hati. Sedangkan rajâ’ akan menguatkan hati dan lebih mencintai Allah, Dzat tempat kita melabuhkan segala harapan.


Siapa pun tidaklah patut meninggalkan dunia kecuali ketika dalam keadaan mencintai Allah, agar setiap orang senang ketika berjumpa dengan-Nya. Siapa yang senang berjumpa dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya, dan rajâ’ akan melahirkan rasa cinta. Rasulullah saw. bersabda:


لاَ يَمُوْتُنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِـنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ

Hendaklah kalian sekali-kali jangan meninggal dunia kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah. (HR Muslim)

Ketika Sulaiman at-Taimi menghadapi sakaratul maut, ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sebutkan macam-macam rukhshah (keringanan dalam beribadah), dan bacakan keutamaan rajâ’, agar aku meninggal dunia dengan prasangka baik kepada Allah.”


Saat Sufyan ats-Tsauri sedang “menerima” malaikat maut, berkumpullah para ulama di sekitarnya menyebutkan keutamaan-keutamaan rajâ’.


Begitu pula Ahmad bin Hanbal ketika ajal menjelang, berkata kepada anak-anaknya, “Bicaralah tentang keutamaan rajâ’ dan prasangka baik kepada Allah.”


Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga kita bisa kembali pada-Nya tetap dalam iman dan Islam. Semoga pula kita senantiasa dibimbing oleh-Nya untuk berada di jalan-Nya dan jalan menuju surga-Nya yang abadi, amin.


Untuk meningkatkan semangat kita dalam persiapan menuju masa depan abadi, marilah kita bayangkan lagi surga yang telah dijanjikan Allah untuk para hamba yang mengabdi dengan tulus ikhlas semata-mata karena-Nya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa berita dan cerita tentang surga sudah sering kita dengar, sehingga mungkin tidak banyak menimbulkan efek positif ketika mendengarnya. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah sego jangan, artinya sudah biasa, seperti makanan sehari-hari (sego artinya nasi, jangan berarti sayuran).


Namun demikian, kiranya tetap perlu kita ingat lagi bagaimana kenikmatan surga di akhirat kelak. Hanya saja, kali ini janganlah kita hanya membacanya, tapi marilah kita resapi dan hayati, lalu kita tumbuhkan niat yang kuat (‘azam) untuk bisa berada di dalamnya, bisa bercengkrama dengan junjungan kita Rasulullah saw. dan orang-orang shaleh lainnya, serta kenikmatan terbesar di surga, yaitu bertemu serta melihat langsung Tuhan Yang Menciptakan kita, Allah SWT.


Sebelum membahas surga yang penuh kenikmatan, tiada lagi perintah dan larangan; ada baiknya kita bahas dulu tentang dunia beserta segala keindahan di dalamnya. Sengaja penulis awali dengan kondisi dunia, karena kita hidup di dalamnya. Dengannya, kita lebih mudah memahami dan memvisualisasikan yang akan kita dapatkan. Bukankah Allah membagi rahmat dan nikmat menjadi dua bagian, 1% di dunia, sedangkan 99% di surga nanti? Bagaimana caranya kita akan membayangkan yang 99%, jika yang 1% saja belum pernah?


Barangkali kita perlu men-set up dulu gelombang otak kita ke kondisi tenang, kondisi yang bisa membayangkan sesuatu dengan santai, yaitu kisaran gelombang Alfa (bahkan Teta?). Dengan demikian kita bisa tenang membaca, merenungkan dan menanamkan cerita di bawah ini ke otak bawah sadar kita. Diharapkan, dengan kokohnya keinginan, maka setiap gerak langkah kita akan senantiasa mendapat energi positif dari impian serta kekuatan visi kita tersebut. Mari kita baca cerita berikut ini secara perlahan-lahan dan melarutkan diri di dalamnya.


. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Kita andaikan saja Allah melimpahkan seluruh kekayaan dunia ini kepada kita. Yang lebih enak lagi adalah semuanya halal, tak ada larangan. Kita bisa menikmati apa pun yang kita inginkan. Allah telah menganugerahkan surga dunia kepada kita.


Kapan pun kita mau, kita bisa melihat indahnya mentari tersenyum ramah di kala pagi dengan penuh ketakjuban, di sebuah pegunungan sebelah timur Indonesia, Papua. Bak seorang turis bule, dengan bibir menyungging senyum kita berujar, “Inilah sun rise terindah, the most beautiful one.” Sambil memandang indah wajah mentari yang datang dari bilik mega, kita dimanja oleh hawa yang begitu lembut dan dingin bercampur hangat, karena sapaan sang fajar.


Kehangatan suasana menjadi begitu lengkap dengan kehadiran sang kekasih, belahan jiwa dan pujaan hati di samping kita. Kekasih yang anggun memesona, halus tutur kata, santun budi bahasa, sejuk dipandang mata, cantik jelita, laksana bidadari turun dari surga. Ia seperti kilau matahari di musim semi. Harum tubuhnya ibarat bunga kesturi sedang menebar wangi. Sambil memandang parasnya yang elok, dengan suara pelan kita lantunkan bait puisi karya Habiburrahman El Shirazy,


Alangkah manisnya bidadariku ini
Bukan main elok pesonanya
Matanya berbinar-binar
Alangkah indah bibirnya
Mawar merekah di taman surga

Mendengarnya, pipi kekasih kita merona merah karena malu bercampur bahagia. Dua lesung di pipinya menambah pesona wajahnya. Kita pun jadi gemas dibuatnya. Dengan penuh kelembutan, kita melanjutkan pujian padanya dengan puisi dari Ibnu Hazm,


Selain keindahanmu, tak ada persinggahan bagi ini mata
Kau serupa pengakuan orang tentang indahnya permata
Kupendarkan pandangan mataku
Mengikuti pandanganmu
Kuikuti dirimu selalu
Seumpama manis mengikuti madu

Rupanya kekasih kita tak mau kalah. Membalas syair-syair cinta yang kita utarakan, ia pun mendendangkan puisi balasan,


Kucintai engkau dengan tanpa keraguan di dalamnya
Padahal kebanyakan cinta hanyalah fatamorgana
Ingin kukatakan padamu dengan gamblang dan tulus
Cintaku padamu terukir zhahir dan halus

Jika dalam jiwaku tertanam kebencian
Kan kucabik seluruh tabir penutupnya dan kubuang
Sungguh! Tak ada yang kuingini darimu selain cinta
Sungguh! Tak ada yang kuucapkan padamu kecuali cinta

Saat kutenggelam dalam samudera cinta
Hamparan bumi seolah kering binasa
Manusia seumpama buih-buih di lautan
Penghuni mayapada seumpama debu beterbangan
(karya Ibnu Hazm)

Duhai, betapa romantisnya. Sungguh, sebuah peristiwa yang amat mengesankan dan pasti membekas di lubuk sanubari yang paling dalam.



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Habiburrahman El Shirazy, “Ayat-Ayat Cinta [Sebuah Novel Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan XX : April 2007
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (7 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 14, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)

2. Menyebut-nyebut semua amalnya yang baik dan telah lalu, sedang dia tidak tahu, amalnya itu diterima atau ditolak.


Untuk nasihat ini, kita harus menganggap bahwa kita tidak pernah beramal sama sekali. Dengannya, kita akan terdorong untuk selalu berbuat baik. Mengingat amal ibadah yang pernah kita kerjakan tidak ada sisi baiknya. Kalaupun misalnya ada, maka nilainya sedikit bahkan limit mendekati nol. Hal ini berbeda dengan nasihat pertama yang memang bersifat kondisional.


Ibnu Juraij menasihatkan, “Apabila kamu telah mengerjakan perbuatan baik, janganlah kamu katakan telah mengerjakannya.”


“Saya tidak pernah menganggap baik pada amal ibadah saya,” kata Abu Sulaiman, “saya cukup dengan berbuat saja.”


Basyar bin Manshur, salah seorang ahli ibadah yang selalu melakukan dzikir dan mengingat kehidupan akhirat, suatu hari melakukan shalat yang sangat lama. Di belakangnya ada seseorang yang melihat dan mengagumi ibadahnya. Setelah selesai shalat orang itu pun memujinya. Bashar bin Manshur berkata kepadanya,


“Janganlah kamu kagum atas apa yang telah aku lakukan, karena Iblis telah beribadah bersama-sama malaikat dalam waktu yang sangat lama, akan tetapi sekarang ia menjadi makhluk yang paling dilaknat.”


Di kitab “Tanbîh al-Ghâfilîn” terdapat sebuah kisah dimana Shalih meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Ziyad. Dia berkata, “Ketika Nabi Musa as. sedang duduk, tiba-tiba datang Iblis memakai topi yang berwarna macam-macam. Tatkala sudah dekat dengan Nabi Musa as., Iblis membuka topinya. Nabi Musa as. bertanya,


“Siapakah kamu?”


“Aku Iblis.”


“Mengapa kamu datang kemari?”


“Untuk memberi salam kepadamu karena kedudukanmu di sisi Allah.”


“Topi yang engkau pakai dan digunakan untuk apa?”


“Untuk mencuri dan menawan hati anak Adam.”


“Hai, Iblis. Ceritakanlah kepadaku, perbuatan apa yang jika dilakukan oleh anak Adam, maka kamu dapat menguasainya.”


Menuruti permintaan Nabi Musa as., Iblis pun menjawab,


إِذَا أَعْجَـبَتْهُ نَفْسُهُ وَاسْـتَكْثَرَ عَمَلَهُ وَنَسِيَ ذَنْبَهُ إِسْتَحْوَذْتُ عَلَيْهِ

“Jika ia ‘ujub (berbangga diri), dan telah merasa banyak amalnya, dan lupa dosanya. Maka di situ aku berkuasa padanya.”

3. Melihat orang di atasnya dalam urusan dunia


Rasulullah saw. bersabda:


اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَلاَّ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang lebih rendah (kenikmatannya) darimu dan janganlah melihat kepada yang lebih banyak (kenikmatannya) darimu agar kamu tidak mencela nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu. (HR Muslim dan Tirmidzi)


إِذَا نَظَرَ أَحَدَكُمْ إِلَى مَنْ فَضَّلَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخُلُقِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْهُ

Sekiranya salah seorang dari kalian melihat seorang yang diberi kelebihan oleh Allah dalam harta dan kesehatan tubuhnya, maka hendaklah ia segera melihat orang yang lebih rendah darinya. (HR Bukhari dan Muslim)


مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلَ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْـبَعَهُ فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti salah seorang kalian memasukkan jarinya di laut, kemudian perhatikanlah apa yang tersisa pada jarinya ketika ia angkat.
(HR Muslim dan Tirmidzi)


Maksud dari nasihat ini yaitu agar kita tidak iri dengan kemewahan yang dinikmati orang lain. Berbeda halnya, jika kita iri karena orang lain banyak sedekahnya. Itu artinya kita hasud dalam kebaikan, dan itu diperbolehkan.


لاَحَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَبُشُّهَا فىِ النَّاسِ وَيُعَلِّمُهَا وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فىِ الْحَقِّ

Tidak (boleh) ada kedengkian kecuali pada dua hal. Pertama, orang yang dikaruniai Allah ilmu pengetahuan kemudian ia menyebarluaskan dan mengajarkan kepada orang lain. Kedua, orang yang dikaruniai Allah harta kemudian ia menafkahkannya dalam kebenaran. (HR Bukhari dan Muslim)


Namun, janganlah kita berkata, “Enak sekali tetangga saya, karena kekayaannya, mereka bisa sedekah setiap hari. Sedangkan saya, dengan kondisi seperti ini, saya tidak bisa sedekah, walaupun sedikit. Jangankan buat sedekah, buat kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan. Kalau saja saya sekaya dia, pastilah saya akan sedekah setiap hari lebih banyak daripada dia.”


Perkataan seperti ini sangat tidak dianjurkan. Kita mensyaratkan adanya sesuatu yang tidak ada supaya kita bisa beramal. Jika sedekah sedikit saja tidak bisa kita lakukan dengan berbagai alasan, bagaimana mungkin kita akan sedekah banyak walaupun harta melimpah? Bukankah itu berarti kita tidak mensyukuri nikmat yang sedikit? Jika kita tidak bisa mensyukuri nikmat kecil, apa kita bisa mensyukuri nikmat besar? Seandainya Allah benar-benar melimpahkan kekayaan kepada kita, akankah kita akan menepati janji?


Mujahid—seorang ahli tafsir murid Ibnu Abbas ra.—bercerita tentang asbâbun nuzûl (sebab turunnya) ayat Al-Qur’an surah at-Taubah [97]: 75. Dua orang lelaki keluar dari kerumunan orang dan berhasrat, “Apabila Allah memberikan rejeki kepada kami, maka kami akan bersedekah.” Ketika mereka diberikan rejeki yang berlimpah, mereka melupakan janjinya dan bersifat pelit. Dengan peristiwa ini, turunlah ayat yang artinya:


Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.”


Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
(QS at-Taubah [97]: 75-76)

Marilah kita ingat lagi bahwa di sisi Allah, bukan besarnya uang yang dinilai, tapi beratnya usaha yang dilakukan. Bisa saja sedekah kita Rp 1.000,- nilainya sama dengan Rp 1.000.000,- dari seorang jutawan, di sisi Allah; karena bagi kita, sedekah seribu rupiah seberat sedekah sejuta rupiah bagi orang kaya, karena kondisi kita yang pas-pasan.


سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ

Satu dirham mengalahkan seratus ribu dirham.
(HR an-Nasa’i dan Ibnu Hibban)

4. Melihat orang dibawahnya dalam urusan agama (ibadah)


Kalau kita selalu melihat amal ibadah orang yang kita rasa lebih rendah dari kita, tentu kita akan menyesal kemudian. Pertama karena sifat ‘ujub yang termasuk penyakit hati dan bisa meluluhlantakkan pahala. Kedua karena kita tidak akan termotivasi lagi untuk lebih baik dalam mengabdi kepada Allah Yang Menciptakan kita.


Hasan al-Bashri berkata, “Siapa menyaingimu dalam masalah agama, maka saingilah dia. Namun siapa menyaingimu dalam masalah dunia, hempaskanlah dunia ke lehernya.”

Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (6 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 7, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)

Sebagaimana sudah diajarkan oleh guru-guru kita bahwa tanda orang celaka atau sengsara ada empat, yaitu:

1. Melupakan dosa-dosa yang telah lalu sedang dosa-dosa itu dipelihara di sisi Allah.


Tentunya hal ini harus dikaitkan lagi dengan bagaimana kemampuan kita dalam menyikapi sebuah masalah. Jika kita belum bisa menyikapi hal ini dengan benar, justru kita akan semakin stres karena teringat selalu dosa-dosa kita. Kalau kita termasuk tipe ini, maka sebaiknya buku lama ditutup saja, buka lembaran baru yang bersih. Kita ingat bahwa Allah Maha Luas Ampunannya dan sesungguhnya kebaikan dapat menghapus ketidakbaikan. Dalam kasus ini rajâ’ (pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah) lebih baik daripada khawf (takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita tidak diterima).


Begitu juga dalam menyikapi hadits tentang minuman keras yang penggalannya berbunyi, “Siapa yang minum arak hingga mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.” Para ulama menjelaskan bahwa shalat tetap wajib dilakukan dalam masa empat puluh hari tersebut meskipun tidak diterima di sisi Allah. Apabila kita belum bisa menyikapinya secara positif, sebaiknya kita lupakan saja pernah mabuk, lalu taubat, dan tetap shalat dengan penuh pengharapan serta ampunan dalam empat puluh hari itu. Dikuatirkan kita malah tidak shalat dalam rentang waktu itu, karena keyakinan pasti tidak diterima. Dengannya, justru kita melakukan banyak kesalahan—sudah mabuk, tidak shalat pula. Kita harus yakin bahwa yang penting kita sudah sadar, taubat, dan hanya Allah-lah Yang Maha Menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita. Sebuah pepatah berbunyi, “Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah kemarau.”


Imam al-Junaid pernah ditanya tentang taubat, lalu dijawab, “Hendaknya kamu melupakan dosamu.” Ketika bertaubat, orang yang bertaubat tidak lagi mengingat dosa-dosa, karena kehadiran keagungan Allah dan keberlangsungan dzikir kepada-Nya senantiasa mendominasi hati.


Ibnu Athaillah berpesan, “Jangan terlalu merasakan dosa-dosa yang telah engkau lakukan, sehingga dapat menghalang-halangi engkau bersangka baik kepada Allah. Sesungguhnya apabila engkau mengenal Tuhanmu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, maka engkau tidak akan terlalu membesar-besarkan dosamu di sisi Maha Rahmannya Allah. Tidak ada yang disebut dosa kecil apabila Allah menghadapkan kepadamu sifat adil-Nya, dan tidak ada dosa besar apabila Allah menghadapkan padamu sifat-Nya yang penuh anugerah.”


Lalu, bagaimana penjelasan nasihat agar kita tidak melupakan dosa-dosa kita? Maksud nasihat pada item ini yaitu jika kita bisa berpikir dan bersikap positif, maka mengingat dosa yang pernah kita lakukan akan membuat kita waspada supaya tidak tergelincir lagi (baik untuk kesalahan yang sama atau kesalahan baru) karena takut pada Allah dan terus-menerus memperbaiki diri dan berpengharapan mendapat ampunan dan rahmat-Nya. Ini artinya khawf dan rajâ’ kita adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, juga seimbang.


Perlu diingat lagi bahwa rajâ’ adalah kehendak yang harus diikuti dengan amal ibadah. Kalau tidak demikian, maka itu hanyalah angan-angan. Al-Hasan berkata, “Ada orang yang tertipu oleh angan-angan menginginkan ampunan sehingga mereka keluar dari dunia sedangkan mereka belum membawa kebaikan. Mereka berseru bahwa mereka telah berbaik sangka kepada Allah, akan tetapi mereka berdusta dalam pengakuan tersebut. Kalau benar mereka telah berbaik sangka kepada Allah, tentu perbuatan mereka pun lebih baik lagi.”


Selanjutnya al-Hasan berpesan, “Wahai hamba Allah, waspadalah kamu dari angan-angan palsumu, karena akan menjadi jurang kebinasaan bagimu, sebab kamu suka berlaku kurang sopan kepada Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah memberikan seseorang suatu kebaikan hanya karena angan-angan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.”


Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan khawf dan rajâ’ bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).


Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu anaknya,


“Wahai anakku, takutlah kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah tidak akan menerima kebaikanmu walaupun kebaikanmu itu mencapai seluruh kebaikan penghuni bumi.


Berharaplah kepada Allah, dengan menganggap bahwa apabila dosa kamu sebesar dosa seluruh penghuni bumi dan memohon ampunan dari Allah, maka Allah akan mengampuninya.”


Agar tidak meremehkan dosa yang telah dilakukan, Ibnu Mas‘ud ra. memberikan penjelasan tentang pengaruh mengingat dosa dan melalaikan kesalahan terhadap sikap seorang muslim. Abdullah Ibnu Mas‘ud berkata:


إِنَّ الْمُؤْمِنَ مَنْ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى اَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هٰـكَذَا

Seorang mukmin adalah yang melihat dosanya seperti seseorang yang sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung itu akan runtuh menimpa dirinya. Akan tetapi orang yang durhaka (fâjir) adalah yang melihat dosanya sebesar lalat yang lewat di depan hidungnya (remeh), kemudian ia mengatakan, “begini” (ia menghalau lalat itu dengan tangannya). (HR Bukhari)


Uqbah bin Amir menceritakan, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Apakah keselamatan itu?’ Beliau menjawab,


اِحْفَظْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتَكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, perluaslah rumahmu untukmu dan menangislah atas dosa-dosamu.” (HR Tirmidzi)


Pengertian “perluaslah rumahmu untukmu” pada hadits tersebut ada dua, yaitu zhahir dan hakikat. Secara zhahir berarti rumah yang tanah dan bangunannya luas, sehingga bisa digunakan untuk beribadah, misalnya silaturrahim dan shalat. Sedangkan secara hakikat berarti rumah yang diselimuti rahmat Allah sehingga menjadi luas karena ketaatan kepada-Nya.


“Seseorang tidak akan tahu aib dirinya selama ia menganggap baik pada dirinya. Dan seseorang yang melihat aib dirinya, ia pasti dalam ‘kebingungan’ di semua keberadaannya.” Demikanlah nasihat Abu Utsman.



Daftar Pustaka:

  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#