Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 7, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)

Sebagaimana sudah diajarkan oleh guru-guru kita bahwa tanda orang celaka atau sengsara ada empat, yaitu:

1. Melupakan dosa-dosa yang telah lalu sedang dosa-dosa itu dipelihara di sisi Allah.


Tentunya hal ini harus dikaitkan lagi dengan bagaimana kemampuan kita dalam menyikapi sebuah masalah. Jika kita belum bisa menyikapi hal ini dengan benar, justru kita akan semakin stres karena teringat selalu dosa-dosa kita. Kalau kita termasuk tipe ini, maka sebaiknya buku lama ditutup saja, buka lembaran baru yang bersih. Kita ingat bahwa Allah Maha Luas Ampunannya dan sesungguhnya kebaikan dapat menghapus ketidakbaikan. Dalam kasus ini rajâ’ (pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah) lebih baik daripada khawf (takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita tidak diterima).


Begitu juga dalam menyikapi hadits tentang minuman keras yang penggalannya berbunyi, “Siapa yang minum arak hingga mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.” Para ulama menjelaskan bahwa shalat tetap wajib dilakukan dalam masa empat puluh hari tersebut meskipun tidak diterima di sisi Allah. Apabila kita belum bisa menyikapinya secara positif, sebaiknya kita lupakan saja pernah mabuk, lalu taubat, dan tetap shalat dengan penuh pengharapan serta ampunan dalam empat puluh hari itu. Dikuatirkan kita malah tidak shalat dalam rentang waktu itu, karena keyakinan pasti tidak diterima. Dengannya, justru kita melakukan banyak kesalahan—sudah mabuk, tidak shalat pula. Kita harus yakin bahwa yang penting kita sudah sadar, taubat, dan hanya Allah-lah Yang Maha Menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita. Sebuah pepatah berbunyi, “Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah kemarau.”


Imam al-Junaid pernah ditanya tentang taubat, lalu dijawab, “Hendaknya kamu melupakan dosamu.” Ketika bertaubat, orang yang bertaubat tidak lagi mengingat dosa-dosa, karena kehadiran keagungan Allah dan keberlangsungan dzikir kepada-Nya senantiasa mendominasi hati.


Ibnu Athaillah berpesan, “Jangan terlalu merasakan dosa-dosa yang telah engkau lakukan, sehingga dapat menghalang-halangi engkau bersangka baik kepada Allah. Sesungguhnya apabila engkau mengenal Tuhanmu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, maka engkau tidak akan terlalu membesar-besarkan dosamu di sisi Maha Rahmannya Allah. Tidak ada yang disebut dosa kecil apabila Allah menghadapkan kepadamu sifat adil-Nya, dan tidak ada dosa besar apabila Allah menghadapkan padamu sifat-Nya yang penuh anugerah.”


Lalu, bagaimana penjelasan nasihat agar kita tidak melupakan dosa-dosa kita? Maksud nasihat pada item ini yaitu jika kita bisa berpikir dan bersikap positif, maka mengingat dosa yang pernah kita lakukan akan membuat kita waspada supaya tidak tergelincir lagi (baik untuk kesalahan yang sama atau kesalahan baru) karena takut pada Allah dan terus-menerus memperbaiki diri dan berpengharapan mendapat ampunan dan rahmat-Nya. Ini artinya khawf dan rajâ’ kita adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, juga seimbang.


Perlu diingat lagi bahwa rajâ’ adalah kehendak yang harus diikuti dengan amal ibadah. Kalau tidak demikian, maka itu hanyalah angan-angan. Al-Hasan berkata, “Ada orang yang tertipu oleh angan-angan menginginkan ampunan sehingga mereka keluar dari dunia sedangkan mereka belum membawa kebaikan. Mereka berseru bahwa mereka telah berbaik sangka kepada Allah, akan tetapi mereka berdusta dalam pengakuan tersebut. Kalau benar mereka telah berbaik sangka kepada Allah, tentu perbuatan mereka pun lebih baik lagi.”


Selanjutnya al-Hasan berpesan, “Wahai hamba Allah, waspadalah kamu dari angan-angan palsumu, karena akan menjadi jurang kebinasaan bagimu, sebab kamu suka berlaku kurang sopan kepada Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah memberikan seseorang suatu kebaikan hanya karena angan-angan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.”


Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan khawf dan rajâ’ bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).


Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu anaknya,


“Wahai anakku, takutlah kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah tidak akan menerima kebaikanmu walaupun kebaikanmu itu mencapai seluruh kebaikan penghuni bumi.


Berharaplah kepada Allah, dengan menganggap bahwa apabila dosa kamu sebesar dosa seluruh penghuni bumi dan memohon ampunan dari Allah, maka Allah akan mengampuninya.”


Agar tidak meremehkan dosa yang telah dilakukan, Ibnu Mas‘ud ra. memberikan penjelasan tentang pengaruh mengingat dosa dan melalaikan kesalahan terhadap sikap seorang muslim. Abdullah Ibnu Mas‘ud berkata:


إِنَّ الْمُؤْمِنَ مَنْ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى اَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هٰـكَذَا

Seorang mukmin adalah yang melihat dosanya seperti seseorang yang sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung itu akan runtuh menimpa dirinya. Akan tetapi orang yang durhaka (fâjir) adalah yang melihat dosanya sebesar lalat yang lewat di depan hidungnya (remeh), kemudian ia mengatakan, “begini” (ia menghalau lalat itu dengan tangannya). (HR Bukhari)


Uqbah bin Amir menceritakan, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Apakah keselamatan itu?’ Beliau menjawab,


اِحْفَظْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتَكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, perluaslah rumahmu untukmu dan menangislah atas dosa-dosamu.” (HR Tirmidzi)


Pengertian “perluaslah rumahmu untukmu” pada hadits tersebut ada dua, yaitu zhahir dan hakikat. Secara zhahir berarti rumah yang tanah dan bangunannya luas, sehingga bisa digunakan untuk beribadah, misalnya silaturrahim dan shalat. Sedangkan secara hakikat berarti rumah yang diselimuti rahmat Allah sehingga menjadi luas karena ketaatan kepada-Nya.


“Seseorang tidak akan tahu aib dirinya selama ia menganggap baik pada dirinya. Dan seseorang yang melihat aib dirinya, ia pasti dalam ‘kebingungan’ di semua keberadaannya.” Demikanlah nasihat Abu Utsman.



Daftar Pustaka:

  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (3 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment