Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 21, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (6 of 9)

Ketika sakaratul maut, sikap apa yang harus dimiliki? Dinasihatkan bahwa kita harus rajâ’ (penuh pengharapan) dan prasangka baik kepada Allah. Bila rasa takut (khawf) yang mendominasi, maka akan meresahkan hati. Sedangkan rajâ’ akan menguatkan hati dan lebih mencintai Allah, Dzat tempat kita melabuhkan segala harapan.


Siapa pun tidaklah patut meninggalkan dunia kecuali ketika dalam keadaan mencintai Allah, agar setiap orang senang ketika berjumpa dengan-Nya. Siapa yang senang berjumpa dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya, dan rajâ’ akan melahirkan rasa cinta. Rasulullah saw. bersabda:


لاَ يَمُوْتُنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِـنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ

Hendaklah kalian sekali-kali jangan meninggal dunia kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah. (HR Muslim)

Ketika Sulaiman at-Taimi menghadapi sakaratul maut, ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sebutkan macam-macam rukhshah (keringanan dalam beribadah), dan bacakan keutamaan rajâ’, agar aku meninggal dunia dengan prasangka baik kepada Allah.”


Saat Sufyan ats-Tsauri sedang “menerima” malaikat maut, berkumpullah para ulama di sekitarnya menyebutkan keutamaan-keutamaan rajâ’.


Begitu pula Ahmad bin Hanbal ketika ajal menjelang, berkata kepada anak-anaknya, “Bicaralah tentang keutamaan rajâ’ dan prasangka baik kepada Allah.”


Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga kita bisa kembali pada-Nya tetap dalam iman dan Islam. Semoga pula kita senantiasa dibimbing oleh-Nya untuk berada di jalan-Nya dan jalan menuju surga-Nya yang abadi, amin.


Untuk meningkatkan semangat kita dalam persiapan menuju masa depan abadi, marilah kita bayangkan lagi surga yang telah dijanjikan Allah untuk para hamba yang mengabdi dengan tulus ikhlas semata-mata karena-Nya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa berita dan cerita tentang surga sudah sering kita dengar, sehingga mungkin tidak banyak menimbulkan efek positif ketika mendengarnya. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah sego jangan, artinya sudah biasa, seperti makanan sehari-hari (sego artinya nasi, jangan berarti sayuran).


Namun demikian, kiranya tetap perlu kita ingat lagi bagaimana kenikmatan surga di akhirat kelak. Hanya saja, kali ini janganlah kita hanya membacanya, tapi marilah kita resapi dan hayati, lalu kita tumbuhkan niat yang kuat (‘azam) untuk bisa berada di dalamnya, bisa bercengkrama dengan junjungan kita Rasulullah saw. dan orang-orang shaleh lainnya, serta kenikmatan terbesar di surga, yaitu bertemu serta melihat langsung Tuhan Yang Menciptakan kita, Allah SWT.


Sebelum membahas surga yang penuh kenikmatan, tiada lagi perintah dan larangan; ada baiknya kita bahas dulu tentang dunia beserta segala keindahan di dalamnya. Sengaja penulis awali dengan kondisi dunia, karena kita hidup di dalamnya. Dengannya, kita lebih mudah memahami dan memvisualisasikan yang akan kita dapatkan. Bukankah Allah membagi rahmat dan nikmat menjadi dua bagian, 1% di dunia, sedangkan 99% di surga nanti? Bagaimana caranya kita akan membayangkan yang 99%, jika yang 1% saja belum pernah?


Barangkali kita perlu men-set up dulu gelombang otak kita ke kondisi tenang, kondisi yang bisa membayangkan sesuatu dengan santai, yaitu kisaran gelombang Alfa (bahkan Teta?). Dengan demikian kita bisa tenang membaca, merenungkan dan menanamkan cerita di bawah ini ke otak bawah sadar kita. Diharapkan, dengan kokohnya keinginan, maka setiap gerak langkah kita akan senantiasa mendapat energi positif dari impian serta kekuatan visi kita tersebut. Mari kita baca cerita berikut ini secara perlahan-lahan dan melarutkan diri di dalamnya.


. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Kita andaikan saja Allah melimpahkan seluruh kekayaan dunia ini kepada kita. Yang lebih enak lagi adalah semuanya halal, tak ada larangan. Kita bisa menikmati apa pun yang kita inginkan. Allah telah menganugerahkan surga dunia kepada kita.


Kapan pun kita mau, kita bisa melihat indahnya mentari tersenyum ramah di kala pagi dengan penuh ketakjuban, di sebuah pegunungan sebelah timur Indonesia, Papua. Bak seorang turis bule, dengan bibir menyungging senyum kita berujar, “Inilah sun rise terindah, the most beautiful one.” Sambil memandang indah wajah mentari yang datang dari bilik mega, kita dimanja oleh hawa yang begitu lembut dan dingin bercampur hangat, karena sapaan sang fajar.


Kehangatan suasana menjadi begitu lengkap dengan kehadiran sang kekasih, belahan jiwa dan pujaan hati di samping kita. Kekasih yang anggun memesona, halus tutur kata, santun budi bahasa, sejuk dipandang mata, cantik jelita, laksana bidadari turun dari surga. Ia seperti kilau matahari di musim semi. Harum tubuhnya ibarat bunga kesturi sedang menebar wangi. Sambil memandang parasnya yang elok, dengan suara pelan kita lantunkan bait puisi karya Habiburrahman El Shirazy,


Alangkah manisnya bidadariku ini
Bukan main elok pesonanya
Matanya berbinar-binar
Alangkah indah bibirnya
Mawar merekah di taman surga

Mendengarnya, pipi kekasih kita merona merah karena malu bercampur bahagia. Dua lesung di pipinya menambah pesona wajahnya. Kita pun jadi gemas dibuatnya. Dengan penuh kelembutan, kita melanjutkan pujian padanya dengan puisi dari Ibnu Hazm,


Selain keindahanmu, tak ada persinggahan bagi ini mata
Kau serupa pengakuan orang tentang indahnya permata
Kupendarkan pandangan mataku
Mengikuti pandanganmu
Kuikuti dirimu selalu
Seumpama manis mengikuti madu

Rupanya kekasih kita tak mau kalah. Membalas syair-syair cinta yang kita utarakan, ia pun mendendangkan puisi balasan,


Kucintai engkau dengan tanpa keraguan di dalamnya
Padahal kebanyakan cinta hanyalah fatamorgana
Ingin kukatakan padamu dengan gamblang dan tulus
Cintaku padamu terukir zhahir dan halus

Jika dalam jiwaku tertanam kebencian
Kan kucabik seluruh tabir penutupnya dan kubuang
Sungguh! Tak ada yang kuingini darimu selain cinta
Sungguh! Tak ada yang kuucapkan padamu kecuali cinta

Saat kutenggelam dalam samudera cinta
Hamparan bumi seolah kering binasa
Manusia seumpama buih-buih di lautan
Penghuni mayapada seumpama debu beterbangan
(karya Ibnu Hazm)

Duhai, betapa romantisnya. Sungguh, sebuah peristiwa yang amat mengesankan dan pasti membekas di lubuk sanubari yang paling dalam.



Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Habiburrahman El Shirazy, “Ayat-Ayat Cinta [Sebuah Novel Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan XX : April 2007
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (7 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment