Mencari Data di Blog Ini :

Friday, September 9, 2011

Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (2 of 2)

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya memberi nasihat bahwa hendaknya tujuan menuntut ilmu di dunia ini adalah untuk menghiasi dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tujuan menuntut ilmu hendaknya tidak untuk mencari kekuasaan, harta dan pangkat. Tidak juga untuk mendebat orang-orang bodoh atau membanggakan diri di hadapan teman-teman.

Seorang penyair, Abul Aswad ad-Duali dalam bait syairnya berpesan kepada kita:

Wahai orang yang mengajar sesamanya
Ajarilah dirimu terlebih dahulu, dan inilah pengajaran yang benar
Engkau berikan obat kepada yang sakit agar dia sembuh
Sedang dirimu menderita
Mulailah dengan diri sendiri dan cegahlah dia dari angkara murka
Jika engkau telah melakukannya, maka engkau akan menjadi arif


Di buku “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, ‘Aidh al-Qarni mengisahkan tentang seorang hamba shaleh sekaligus dai. Suatu hari seorang budak sahaya datang kepadanya dan berkata,

“Aku ingin agar dirimu berkhutbah tentang pembebasan budak. Dengannya, aku berharap agar Tuanku memerdekakan aku.”

Selama beberapa Jum’at, dai itu pun berkhutbah tentang pembebasan budak dan mengajak manusia untuk memerdekakan budak. Ternyata, harapan si sahaya tak terpenuhi. Ia belum dimerdekakan oleh tuannya. Si hamba sahaya bertanya kepada sang dai,

“Engkau telah berkhutbah pada setiap Jum’at, tetapi Tuanku tak kunjung membebaskan aku.”

“Tunggulah beberapa waktu!” jawab sang dai.

Sang dai pergi untuk mengumpulkan harta dan membeli beberapa orang budak untuk dimerdekakan demi mengharap ridha Allah. Kemudian ia kembali berkhutbah untuk menyampaikan nasihat tentang memerdekakan budak.

Ketika orang-orang keluar dari masjid, si tuan mendatangi hamba sahayanya—budak sahaya yang minta tolong kepada sang dai—dan memerdekakannya. Seseorang bertanya kepada si tuan itu,

“Kenapa engkau baru memerdekakan hamba sahayamu hari ini, padahal orang alim itu telah lama berbicara tentang pembebasan budak?”

“Demi Allah, baru hari ini khutbah orang alim itu masuk dalam hatiku,” jawab si tuan.

Cerita ini menunjukkan bahwa perbuatan yang sesuai dengan ucapan akan membawa dampak yang amat berpengaruh. Seorang dai wajib terus-menerus melakukan introspeksi diri (muhâsabah) hingga perkataan yang diucapkan selaras dengan perbuatannya.

Tidakkah kita merasa malu kepada Allah apabila kita menyuruh orang lain berbuat baik sedang kita sendiri tidak melaksanakannya? Apakah kita ingin seperti lilin, yang memberi penerangan pada orang dan menghanguskan diri sendiri (nanti di neraka)? Sungguh, itu tidak akan mendatangkan manfaat sedikit pun di hari Kiamat.

مَثَلُ الَّذِىْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ
Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia sedang ia melupakan dirinya, seperti lilin yang memberikan penerangan kepada manusia sedang ia membakar dirinya. (HR Thabrani)

Menghapal isi buku atau kitab, mengumpulkan berbagai ilmu serta menyampaikan ceramah dengan lantang adalah pekerjaan mudah dan banyak yang bisa melakukannya. Tetapi, mengaplikasikan ajaran-ajarannya dan sungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmu adalah perkara yang berat, sulit dan melelahkan. Pekerjaan terbesar seorang pendakwah adalah bagaimana ia menjadi pelita yang terang melalui perbuatan, kejujuran, keikhlasan dan akhlak. Ibnu Rumi berkata:

Di antara keanehan zaman adalah
Engkau menginginkan orang lain sopan
Tapi engkau sendiri bertindak tidak sopan

Daftar Pustaka:
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Menjual Ayat-Ayat Allah? Na‘ûdzubillâh (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment