Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 29, 2011

Menggapai Istiqamah

Yang pertama kali terlintas di benak penulis ketika jemari hendak menari di atas tuts keyboard yaitu, “Tak berarti penulis telah bisa sepenuhnya istiqamah. Prinsip yang penulis pegang adalah kita mengaji bersama-sama dan sama-sama mengaji. Semoga coretan ini bisa menjadi doa, pembangkit semangat, pelecut asa, cambuk jiwa dan ruh kehidupan bagi kita semua, amin.”

Apa itu istiqamah?

Berdasarkan ilmu Sharaf, lafazh استقامة (istiqâmah) mengikuti pola (wazan):


اِسْتَفْعَلَ – يَسْتَفْعِلُ – اِسْتِفْعَالاً
اِسْتَقَامَ – يَسْتَقِيْمُ - اِسْتِقَامَةً
Di kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia dijelaskan:

اِسْتَقَامَ: اِعْتَدَلَ وَانْتَصَبَ

Istaqâma artinya menjadi lurus; tegak lurus.

Demikian juga di kamus al-Mu‘jam al-Wasîth:

اسْتَقَامَ( الشئُ): اعتدل واستوى
Istiqâma (asy-syay’u): (Sesuatu) itu menjadi lurus.


Lafazh Istaqâma berfaedah tahawwul (تحوّل) yang bermakna berubah atau pindahnya pelaku (fâ‘il) pada asal kata kerja (fi‘il). Jadi kalau lebih lengkap, arti kalimat istiqâma asy-syay’u adalah sesuatu itu berubah menjadi lurus.


Selain faedah tahawwul, pola (wazan) ini juga bisa mempunyai faedah takalluf (تكلّف) yaitu adanya kesungguhan pelaku (fâ‘il) untuk menghasilkan asal kata kerja (fi‘il). Asal kata kerja lafazh استقام adalah قام (berdiri). Dengan demikian, kita harus bersungguh-sungguh dalam meraih istiqamah, tidak bisa sekedar berucap ingin istiqamah tapi tanpa tindakan nyata ‘tuk mewujudkannya.


Apa langkah-langkah agar bisa istiqamah?

1. Memohon pertolongan Allah
Syaikh Ibnu Athaillah as-Sakandary menerangkan, “Sebagus-bagusnya permohonan yang patut disampaikan kepada Allah adalah semua yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan.”

Jika ada yang patut diminta kepada Allah sebagai hamba, maka yang paling pantas ialah mengharap kepada Allah agar meneguhkan iman dan keyakinan dengan kemantapan hati yang sungguh-sungguh (istiqamah) kepada ajaran Islam dengan persembahan ibadah. Itulah yang paling bagus dan paling bergengsi bagi hamba yang memohon kepada Allah. Permohonan istiqamah dalam Islam itu sudah termasuk kepentingan dunia dan akhirat.

Sangat baik apabila seorang hamba memohon kepada Allah agar bisa senantiasa menaati-Nya, melaksanakan ibadah tanpa halangan, dan agar Allah memudahkan segala yang berkaitan dengan urusan Islam dan umat Islam. Demikian juga memohon kepada Allah agar terlepas dan tidak tergelincir pada perbuatan maksiat dan dosa, serta diberi kekuatan untuk melaksanakan semua ketaatan. Tak lupa memohon agar selalu dalam keadaan dzikir dan senantiasa berada dalam suasana tentram dalam mengingat Allah SWT.

اللَّهُمَّ أَعِـنَّا عَلىٰ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِـبَادَتِكَ
Ya Allah, tolonglah kami dalam mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu, amin.

2. ‘Azam
Kemauan seseorang ada beberapa tingkatan, yaitu:
  • Khâthir yaitu kilasan kemauan (ide), belum ada cita-cita kuat.
  • Taraddud yaitu kemauan yang penuh keragu-raguan antara ya atau tidak.
  • Hamm atau himmah yaitu cita-cita atau keinginan kuat tapi indikasinya belum terlihat jelas.
  • ‘Azam yaitu cita-cita atau kemauan teguh disertai tekad baja yang indikasinya terlihat pada tindakan.

Ada juga yang menjelaskan bahwa himmah sebenarnya ada tiga macam, yaitu:
  • Himmah pendek, yaitu himmah yang menimbulkan keinginan kuat dan kemantapan hati.
  • Himmah mutawassithah (sedang), yaitu himmah yang selain menimbulkan keinginan kuat juga menimbulkan usaha dan tindakan hingga akhirnya tuuan tercapai.
  • Himmah sâbiqah (tajam), yaitu kekuatan jiwa manusia yang bisa mewujudkan keinginan tanpa terhalang yang lain.

Jadi, kita harus memiliki keinginan kuat untuk bisa beribadah secara istiqamah—disertai doa—lalu diimplementasikan dalam tataran aplikasi dengan menyusun langkah-langkah strategis guna mewujudkannya.

Sebagai contoh kita ingin bisa istiqamah membaca Al-Qur’an setiap hari, maka kita susun jadwal dan langkah pelaksanaannya sebagai berikut:
  • Kita tetapkan waktu untuk membaca Al-Qur’an satu ayat setiap hari, misal selesai shalat Shubuh. Untuk tahap awal, tidak perlu banyak jumlah ayat yang dibaca karena kita sedang melatih kebiasaan dan jiwa kita.
  • Kita catat sampai ayat berapa yang telah dibaca. Agar tidak tergantung pada kertas dan pulpen, bisa disimpan di handphone.
  • Supaya tetap bisa istiqamah baca Al-Qur’an walau sedang bepergian, saat ini banyak aplikasi/software Al-Qur’an yang bisa diinstall di handphone. Dengan cara ini tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membaca Al-Qur’an karena tidak membaca mushaf.
  • Jangan lupa senantiasa mohon pertolongan Allah agar bisa beribadah kepada-Nya secara istiqamah. Atas rahmat dan pertolongan Allah-lah kita bisa mewujudkan hal itu.
  • Bila suatu hari kita lupa tidak membaca Al-Qur’an setelah Shubuh, lalu saat pukul 10.00 kita ingat, maka seketika itu juga kita berwudhu lalu membaca Al-Qur’an. Bolehkah ditunda pelaksanannya selesai shalat Zhuhur? Jangan, karena latihan istiqamah lebih efektif bila waktu telah ditetapkan. Sekali kita menunda dengan alasan yang mungkin masuk akal, maka kita akan mengajukan ribuan argumentasi untuk melakukan penundaan di hari-hari berikutnya.


Penulis pernah mendengar sebuah pesan motivator bahwa suatu kegiatan yang dilakukan secara rutin selama 9 (sembilan) bulan, maka hal itu akan menjadi kebiasaan kita. Bila sekali saja tidak dilakukan, kita akan merasa ada yang hilang dari diri kita.


3. Mulai dari ibadah yang kita bisa
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah memberi nasihat, “Jika kita ingin bisa rutin shalat tahajjud, mulailah dengan menjaga shalat rawatib (qabliyah dan ba’diyah).”

Intinya, kita mulai dari ibadah yang lebih banyak kesempatan melakukannya. Dengan menjaga ibadah-ibadah ini, insya Allah akan memberi energi positif kepada kita untuk melaksanakan ibadah lainnya.



Daftar Pustaka:
  • Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, April 22, 2011

Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (3 of 3)

Di tulisan ini penulis tak akan membahas detail pendidikan anak. Penulis hanya mengulas hal-hal yang terkadang bahkan mungkin sering terlupakan, yaitu:

1. Mengajar anak mengaji, meskipun telah khatam Al-Qur'an.

Alhamdulillâh, saat ini bertebaran TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) atau kadang bernama TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dengan berbagai metode mengaji, misalnya Qira’ati, Qira’ah, Iqra’, al-Barqi, at-Tartil dan al-Bayan.

Dengan metode-metode tersebut, biasanya paling lambat kelas VI, para santri sudah tamat mengaji 30 juz sesuai tajwid, juga pelajaran doa sehari-hari dan shalat. Pertanyaannya, “Ke manakah para santri (anak-anak kita) setelah tamat mengaji di TPQ?”

Kalau sekolah, setelah SD tentu masuk SMP. Sayangnya, jenjang pendidikan mengaji hanya tampak jelas di pesantren. Di luar pesantren? Entahlah. Hal inilah yang membuat banyak santri setelah tamat mengaji di TPQ tidak mengaji lagi, kecuali bagi mereka yang melanjutkan mondok di pesantren.

Praktis, kegiatan-kegiatan mengaji hanya berdasarkan jam pelajaran agama di sekolah, aktivitas OSIS—dalam hal ini SKI (Seksi Kerohanian Islam) atau di beberapa sekolah disebut Rohis—dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam).

Barangkali kita berkata, “Sudah cukuplah mengaji sampai bisa membaca Al-Qur’an dan khatam. Selanjutnya anak-anak kita biar konsentrasi sekolah, les/kursus dan kegiatan ekstrakulikuler yang lagi trend. Masak semua jadi ustadz!”

Mari kita kembali ke prinsip dasar, “Bagaimana kita mendidik anak tergantung dari bagaimana kita menganggap anak bagi diri kita.”

Semua berpulang ke diri kita sendiri. Kalau kita merasa mengaji itu tidak perlu dengan dalih tidak mungkin semua jadi ustadz, ya itu terserah kita.

Namun, sebaiknya kita baca dan resapi lagi artikel ini mulai dari awal. Perlu kita ingat juga bahwa mengaji bukan untuk menjadi ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama atau sebutan apa pun. Mengaji untuk memahami agama kita. Dengan demikian, mengaji diperintahkan Rasulullah saw. Adakah kita hendak menolak perintah Allah dan rasul-Nya?

Ada beberapa cara mengajar anak mengaji setelah tamat TPQ, ketika mereka sudah duduk di bangku SMP/SMA, yaitu:

a. Mendatangkan ustadz ke rumah dengan jadwal rutin. Tidak harus yang sudah sarjana, mahasiswa/i cukup. Toh beliau-beliau sudah mengenyam pendidikan pesantren, jadi sudah tahu kurikulum mengaji yang harus diajarkan setelah anak kita khatam Al-Qur’an.

b. Bila rumah kita dekat pesantren, kita bisa menitipkan anak ke pesantren untuk mengaji walau tidak harus mondok (menginap). Jadi, pesantren tidak hanya menerima santri yang mondok, tapi juga masyarakat sekitar yang hendak mengaji, lalu pulang ke rumah masing-masing.

c. Kita ajar sendiri. Tapi, hal ini jarang terjadi karena keadaan, kesibukan kerja, aktivitas organisasi dan berbagai alasan lain.

Bagaimana ketika anak kita kuliah? Masihkah perlu mengaji?

Mengaji tidak dibatasi oleh kegiatan akademik, gelar, kedudukan bahkan usia.
Mengaji menunjukkan keseriusan kita mendalami ajaran agama.
Mengaji termasuk salah satu wujud pengabdian kita kepada Allah.

2. Senantiasa mendoakan anak walaupun kita rasa mereka sudah besar

Terkadang kita lupa mendoakan anak dengan alasan mereka sudah 17 tahun ke atas. Apalagi kalau sudah disibukkan berbagai urusan. “Anak kita kan sudah besar. Sudah mengerti benar dan salah. Mereka bisa menjaga diri sendiri,” argumen kita.

Mari kita pelajari lagi ta‘awwudz.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.

Mari kita dalami lagi ta‘awwudz. Kepada Siapakah kita berlindung?. Dengan begitu, Siapakah yang melindungi kita?.

Jadi, jangankan anak kita, kita sendiri pun hakekatnya tidak bisa menjaga diri sendiri. Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Apalagi, tidak mungkin 24 jam penuh kita bisa senantiasa mengetahui gerak-gerik anak kita. Jika memang demikian adanya, apakah kita masih merasa mendoakan anak tidak perlu dengan dalih anak kita sudah dewasa?

Agar lebih memantapkan hati, mari kita baca dan resapi lagi surah mu‘awwidzatayn, yaitu QS al-Falaq [113] dan QS an-Nâs [114]. Doa orang tua terhadap anak termasuk doa yang manjur/mujarab/dikabulkan Allah.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ : دُعَاءُ اْلوَالِدِ عَلىَ وَلَدِهِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

Tiga doa yang dikabulkan oleh Allah, yaitu doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang dizhalimi dan doa musafir. (HR Baihaqi)


3. Mendidik anak menghormati guru.

Guru, baik guru les, kursus, sekolah, mengaji maupun kuliah termasuk orang tua. Jadi, dosen di kampus atau ustadz yang mengajar mengaji adalah guru. Entah mengapa saat ini sebagian kecil kita menganggap hubungan murid dan guru sebagai transaksi bisnis. Guru penyedia jasa sedangkan murid (dalam hal ini orang tua murid) sebagai pengguna jasa. Orang tua murid membayar, guru dibayar. Selesai.

Sayyidina Ali kw. mengungkapkan betapa agungnya seorang guru sebagaimana tercantum di kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim:

أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ حَرْفًا

Aku adalah budak (sahaya) orang yang mengajariku satu huruf.

Al-Ghazali menukil perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya.

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Keutamaan seorang alim dari seorang abid seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian, kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi. Hadits hasan gharib shahih)

Di sisi lain, seorang guru juga harus senantiasa introspeksi diri. Ya, sama-sama introspeksi dirilah.

Salah satu contoh menghormati guru yaitu saat lebaran, anak diminta silaturrahim ke rumah guru.

Bukankah sudah seharusnya yang lebih muda mendatangi yang lebih tua?
Bukankah sudah semestinya murid meminta maaf terlebih dahulu kepada guru?

Hanya saja, bila memang keadaan tidak memungkinkan, misalnya karena sang guru mudik sehingga hanya bisa bersua saat sekolah/kuliah/mengaji dimulai, boleh-boleh saja meminta maaf saat bertemu. Namun sebaiknya, tetap bersilaturrahim ke kediaman guru setelah itu.

Wallâhu a‘lam.


Daftar Pustaka:

  • Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, April 15, 2011

Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (2 of 3)

3. Anak adalah ladang tempat beramal

Mendidik anak termasuk ibadah. Bila kita mengajari anak shalat, maka ketika ia shalat, ia mendapat pahala, kita mendapat pahala juga. Jika ia mengajar orang lain shalat, maka ketika orang itu shalat, ia mendapat pahala, anak kita mendapat pahala, begitu pula kita. Hal ini berlangsung selamanya (amal jariyah). Keadaan yang sama berlaku pula untuk berbagai macam aktivitas ibadah lainnya.


مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa memberi contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)


Mencari nafkah lalu hasilnya untuk anak dan istri, serta diniati demi meraih keridhaan Allah berpahala sangat besar.


إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR Bukhari dan Muslim. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Bukhari)



وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الْلُقْمَة تَجْعَلُهَا فِي فِيِّ امْرَأَتِكَ

Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap keridhaan Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR Muslim)



أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ

Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-temannya di jalan Allah. (HR. Muslim)



دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. (HR. Muslim)


4. Anak adalah guru kita

Telah dinasihatkan kepada kita,


اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ

“Perhatikan apa yang diucapkan, dan jangan melihat siapa yang bicara.”


Jika memang demikian adanya, mengapa kita harus malu belajar kepada anak sendiri? Mengapa kita harus gengsi berguru kepada anak sendiri? Mengapa kita harus enggan menimba ilmu dari anak kita sendiri? Mengapa kita harus ogah-ogahan memetik hikmah dari anak kita sendiri?

Kalimat-kalimat bijak pun telah disampaikan,

“Ambillah ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun harus memungutnya dari pinggir jalan.”

“Sebuah intan, walaupun keluar dari mulut binatang, tetaplah sebuah intan.”


خُذِ الْحِكْمَةَ وَلَوْ مِنْ فَهْمِ الْبَهَائِمِ

“Ambillah hikmah/ilmu sekalipun keluar dari mulut binatang”


Mungkin kita bertanya, “Iya kalau anak kita sudah berpendidikan tinggi. Bagaimana bila ia belum sekolah? Bagaimana cara memetik pelajaran darinya?”

Mari bersama-sama belajar kepada balita.

Lihatlah balita! Betapa mereka senantiasa ceria tanpa peduli apakah pakaian yang dikenakan baru beli atau bekas pungutan di tempat sampah.

Lihatlah balita! Betapa mereka tak menaruh rasa dendam walau baru saja berselisih paham dengan teman sepermainan.

Lihatlah balita! Betapa mereka segera berdiri dan berlari ketika terjatuh. Bandingkan dengan kita yang setelah terjatuh, lalu meratap, menangis, menyesali keadaan, baru beranjak perlahan-lahan untuk berdiri.

Lihatlah balita! Betapa mereka mau dinasihati siapa pun, berbeda dengan kita yang kadang merasa lebih hebat dari orang lain sehingga tak selayaknya dinasihati.

Lihatlah balita! Wajah-wajah tanpa dosa, sedangkan kita berlumuran noda dan dosa.


كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). (HR Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Bukhari, Ibnu Hibban, Malik, Muslim, Thabrani dan Tirmidzi)


5. Anak bisa menjadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal

Siapa sih yang bisa hidup sendirian di muka bumi ini?
Siapa sih yang tak memerlukan orang lain di kehidupan ini?
Siapa sih yang tidak membutuhkan pertolongan sesama di dunia ini?

Dengan kenyataan ini, anak bisa jadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal dunia.

Mungkin kita berargumen, “Bukankah sudah kewajiban seorang anak berbakti kepada orang tua? Bukankah itu berarti anak wajib menolong orang tua?”

Memang benar demikian adanya. Namun, itu semua berpulang kepada bagaimana cara kita mendidik anak kita—salah satu penolong kita.

Bukankah telah dikisahkan kepada kita tentang anak durhaka?
Bukankah telah kita saksikan dalam kenyataan hidup bagaimana seorang anak mendebat orang tuanya ketika dinasihati, padahal nyata-nyata sang anaklah yang bersalah?
Bukankah telah kita lihat dalam peristiwa sehari-hari bagaimana seorang anak tega melawan orang tuanya?

Sebagai salah satu bekal dalam menjaga dan mendidik buah hati—salah satu penolong kita, mari kita renungkan lagi sabda Rasulullah saw.


أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ

Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah budi pekertinya. (HR Ibnu Majah)



إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)



Daftar Pustaka:


  • I. Solihin, Drs, “Terjemah Nashaihul Ibad (karya Imam Nawawi al-Bantani)”, Pustaka Amani Jakarta, Cetakan ke-3 1427H/2006

  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (3 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, April 8, 2011

Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (1 of 3)

Sebuah rumus umum telah dikemukakan, “Bagaimana kita memperlakukan sesuatu tergantung dari bagaimana kita menganggapnya.”

Misal tentang pakaian.

Pegawai kantor yang sering berhubungan dengan pelanggan akan menganggap bahwa pakaian sangat penting bagi kepribadian, kelancaran bisnis dan kinerja. “Ajining raga ono ing busana,” kata pepatah Jawa. Tentu ia akan menggunakan pakaian yang sudah disetrika licin harum pula. Bahkan secara hiperbolik bisa dikatakan, “Andaikan ada lalat menempel di baju, ia akan tergelincir.” :)

Hal ini berbeda dengan tukang kayu/bangunan. Bagi mereka, yang penting sudah dicuci dan tidak najis. Oleh karena itu, belum pernah penulis temukan ada pekerja bangunan menggunakan kemeja lengan panjang yang disetrika licin. ;)

Begitu pula dengan anak. Bagaimana kita mendidiknya tergantung dari bagaimana kita menganggap anak bagi diri kita.

1. Anak adalah anugerah

Untuk mengetahui karunia anak, salah satunya kita bisa bertanya kepada pasutri yang lama belum diberi momongan. Seseorang pernah bercerita kepada penulis, “Saya cukup lama menunggu momongan, sekitar 8 tahun. Terasa gundah gulana. Lalu, saya ingat bahwa sebelum menikah saya pernah berkata agar nanti punya anak kalau sudah punya rumah. Mungkin omongan ini jadi doa sehingga setelah punya rumah sendiri—masa 8 tahun pernikahan—barulah saya punya buah hati.”

Kisah tersebut memberi pelajaran kepada kita betapa bahagianya memiliki putra/i. Kisah tersebut juga memberi nasihat kepada kita agar senantiasa menjaga ucapan. Namun, bila sudah terlanjur terucap, maka solusinya adalah memohon ampun (istighfar) kepada Allah atas ucapan tersebut.

Senantiasa memahami dan mengingat bahwa anak adalah anugerah akan membuat kita senantiasa bersyukur kepada-Nya.

Bersyukur adalah ikrar bahwa kita akan menggunakan semua nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.

Bersyukur adalah keyakinan bahwa kita selalu berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang-Nya; bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendirian.

Bersyukur merupakan tanda kebesaran jiwa, kesungguhan iman dan keagungan Islam yang bertahta dalam jiwa.

Bersyukur menunjukkan kepercayaan kita kepada Allah bahwa Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita, seperti yang telah dijanjikan dalam Al-Qur’an al-Karim.

Bersyukur adalah jalan mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan dalam hidup.

Bersyukur termasuk kewajiban manusia, karena manusialah yang paling banyak menerima anugerah nikmat dari Ilahi.

رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْـكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰـهُ وَأَصْلِحْ ِليْ ِفيْ ذُرِّيَتِيْصلىإِنِّيْ تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Ya Tuhanku, perkenankanlah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan atasku dan atas kedua orang tuaku, dan bahwasanya aku hendak beramal shaleh yang Engkau ridhai, dan berilah kebaikan untukku dan untuk keturunanku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan sesungguhnya aku dari (golongan) orang-orang yang telah menyerahkan diri (mengabdi kepada-Mu). (QS al-Ahqâf [46]: 15)

Telah dinasihatkan kepada kita, “Bersyukurlah atas yang sedikit agar engkau pandai mensyukuri yang banyak. Demikian juga, bersyukurlah atas yang kecil, agar Yang Maha Besar menerima syukurmu sebagai pujian.”

Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat ketika kenikmatan itu besertanya, maka ia akan menyadari betapa berartinya nikmat itu setelah pergi meninggalkannya.”

As-Saqaty menerangkan, “Siapa yang tidak dapat menghargai nikmat, maka akan dicabutlah nikmat itu oleh Allah dalam keadaan tidak diketahuinya.”

Al-Fudhail mengingatkan, “Tetaplah kamu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, apabila nikmat itu telah hilang, tidak mungkin ia kembali. Sesungguhnya hanya orang-orang yang haus akan nikmat Allah sajalah yang lebih mengetahui akan nikmat yang ada di tangannya.” Seperti dikisahkan, hanya orang haus sajalah yang memahami nikmat air, hanya orang lapar sajalah yang mengetahui nikmat makan, serta hanya orang sakit yang memahami nikmat sehat.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur terdiri atas ilmu, hâl (kondisi spiritual) dan amal perbuatan.

• Ilmu
Mengetahui tiga hal, yaitu nikmat itu sendiri, segi keberadaannya sebagai nikmat baginya dan Dzat yang memberikan nikmat serta sifat-sifat-Nya. Maka, syukur dapat terlaksana apabila menyadari adanya nikmat, Pemberi nikmat dan penerima nikmat.

Hâl (kondisi spiritual)
Kegembiraan kepada Pemberi nikmat (Allah) yang disertai kepatuhan dan tawadhu‘.

• Amal perbuatan
Ungkapan kegembiraan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah, Sang Pemberi Nikmat, kepadanya. Amal perbuatan ini mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan

2. Anak adalah amanah

Jika ada presiden/raja menitipkan putra/i-nya kepada kita agar diasuh, bagaimana cara kita mengasuhnya? Apa kita akan memarahinya tiap hari? Membentaknya bila ia tak mengerti ucapan kita? Memukulnya saat ia berbuat kesalahan?

Kita tentu menyadari sepenuhnya bahwa anak adalah amanah. Kalau terhadap anak presiden/raja saja kita berlaku sebaik-baiknya, lantas apa perlakuan kita terhadap amanah dari Allah SWT, yaitu anak kita? Mengapa kita terkadang bahkan seringkali kurang bijak dalam mendidik anak kita? Kurang telaten dalam mengajari? Kurang adil dalam memperlakukan?

Apa kita merasa toh itu anak kita sendiri, bukan anak orang lain?
Apa kita merasa toh itu darah daging kita?
Apa kita merasa toh itu keturunan kita?
Apa kita merasa toh kita orang tuanya?
Apa kita merasa bahwa anak adalah hak milik mutlak orang tuanya?

Anak kita, bahkan kita sendiri hakikatnya milik Allah.


إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhya kepada-Nya kami kembali (QS al-Baqarah[2]: 156)

Rasulullah saw. pun telah mengingatkan kita akan tanggung jawab kita.

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang kepala negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabann. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya serta terhadap anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari dan Muslim )


Daftar Pustaka:
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke :
Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, April 1, 2011

Tidak Ada Amalan Sepele

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS az-Zalzalah [99]:7)


Prof. M. Quraish Shihab menerangkan bahwa tidak ada amal kecil di akhirat nanti. Amal sekecil apa pun menurut kita di dunia ini akan menjadi berita besar (Naba’). Oleh karena itu arti kata “Nabi” adalah pembawa berita besar.

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ . عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita besar (QS an-Naba' [78]: 1-2)

Di tafsir Ibnu Jarir ath-Thabary, ada beberapa pendapat mufassir tentang maksud “Berita besar,” yaitu:

1. Al-Qur'an: أريد به القرآن

2. Kebangkitan setelah mati: وهو البعث بعد الموت

3. Hari Kiamat: يوم القيامة


Berikut ini hal-hal yang menunjukkan bahwa amal sekecil apa pun menurut kita, mempunyai dampak yang sangat besar:


1. Kisah wanita tuna susila yang diampuni dosanya karena memberi minum anjing yang sedang kehausan.


غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ

Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, "Anjing ini hampir mati kehausan". Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari)


أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِي يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنْ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا


Pada suatu hari yang sangat panas seorang wanita tuna susila melihat seekor anjing, anjing tersebut mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan, maka kemudian wanita tersebut mencopot sepatunya dan memberi minum anjing tersebut. Allah pun kemudian mengampuni dosa-dosanya. (HR Muslim)


2. Kisah di kitab “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah” karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar tentang Sahabat Umar bin Khattab ra. dan seorang anak kecil.

Suatu hari Sahabat Umar Bin Khattab ra. berjalan menyusuri lorong-lorong Madinah. Sampailah beliau di suatu tempat di mana ada seorang anak sedang memegang seekor burung emprit (‘ushfûri) dan memainkannya.

Sahabat Umar ra. tak tega melihat kondisi burung yang nampak ingin terbang bebas tanpa himpitan tangan si anak. Oleh karena rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah, maka dibelilah burung itu, lalu dilepaskan.

Suatu ketika—setelah Sayyidina Umar bin Khattab meninggalkan dunia fana ini—banyak ulama bermimpi bertemu beliau. Para ulama bertanya tentang keadaan beliau,

“Apa yang telah Allah perbuat padamu, wahai Sahabat Umar?”

“Allah telah mengampuniku dan mengesampingkan siksaan untukku,” jawab Sahabat Umar.

“Hal apakah yang membuatmu diperlakukan demikian? Apakah karena kedermawananmu? Atau karena keadilanmu? Ataukah karena kezuhudanmu?”

“Ketika kalian meletakkan aku ke dalam liang lahat, menutupinya dengan tanah, lalu meninggalkan aku sendiri, datanglah dua malaikat yang membuatku ketakutan. Mereka memegangku, mendudukkanku kemudian hendak menanyaiku. Tiba-tiba aku mendengar Allah berseru kepada para malaikat,

‘Janganlah kalian membuat takut hamba-Ku karena Aku meyayanginya. Sesungguhnya ia telah menyayangi burung emprit tatkala di dunia, maka rahmat-Ku terlimpah kepadanya.’”


Wallâhu a‘lam bish shawâb.

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Allah menyanyangi orang-orang penyayang. Sayangilah seluruh makhluk di muka bumi, niscaya seluruh penghuni langit akan menyayangimu. (HR Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani dan Tirmidzi)


3. Prof. Quraish Shihab menceritakan bahwa suatu ketika Imam Ghazali ketika menulis, lalu ada lalat meminum tinta beliau. Beliau bersyukur karena peristiwa ini terjadi. Beliau menyatakan bahwa mungkin amal inilah yang akan menyelamatkan beliau di alam berikutnya.

Al-Ghazali menasihatkan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, “Janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata, ‘Apa manfaatnya satu benang itu? Kapan akan dapat menghasilkan satu baju?’ Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini disusun dari atom-atom kecil. Maka, berdoa dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT.”


Dalam keseharian, berikut ini contoh ibadah yang terlihat kecil/sederhana bagi kita sehingga sering terabaikan:

1. Bila lampu lalu lintas berwarna merah, maka kita harus berhenti. Bahkan ada yang menerangkan bahwa saat lampu kuning kita siap-siap berhenti, bukan melaju kendaraan sekencang mungkin.

Janganlah kita memotong hak orang lain Mungkin ada yang sedang tergesa-gesa, misalnya ada keluarga yang sakit, memenuhi undangan penting, menuju bandara atau lainnya.

2. Kalau ada mobil/motor hendak belok kanan kemudian menyalakan lampu riting/sein kanan, kita lewat sebelah kirinya bila ingin melewati/mendahului, bukan menyalip lewat kanan, karena mobil/motor tersebut mau belok kanan.

Kejadian ini beberapa kali penulis alami. Saat penulis mau belok kanan sambil menyalakan lampu sein kanan, ternyata pengendara motor di belakang penulis malah menyalip dari kanan. Kondisi ini tentu menyulitkan kedua belah pihak. Anehnya, pengendara tersebut marah-marah kepada penulis. Sungguh, pemahaman bahwa sesama muslim bersaudara, agar kita menghormati orang lain dan sejenisnya hanya ada di masjid dan pengajian. Adakah pemahaman tersebut masih ada di jalan raya?!

3. Di toilet umum, bila ada yang buang air kecil tapi belum disiram, kita siram saja supaya orang lain tidak terganggu. Tidak perlu mengomel, cukup tindakan. Tapi, bila kita yang buang air, jangan lupa disiram.

4. Membuang sampah di tempat yang disediakan.

Penulis yakin kita bisa menambah daftar tersebut sampai berpuluh-puluh baris.

Mungkin kita membantah dengan beragumen, “Tapi kan, saya sudah shalat wajib, shalat tahajud, puasa, baca Al-Qur'an, sedekah dan berbagai ibadah lain. Cukuplah itu semua untuk tabungan di akhirat nanti. Jadi wajar kalau amal-amal kecil seperti yang dicontohkan tidak saya kerjakan.”

Coba kita jawab pertanyaan berikut ini:

“Apakah malaikat pernah mengabari kita bahwa semua ibadah kita diterima oleh Allah?”
“Apakah malaikat pernah memberi tahu kita bahwa dosa kita telah diampuni-Nya?”


Tidak ada yang tahu apakah segala macam ibadah yang kita kerjakan diterima oleh Allah atau sebaliknya.
Tidak ada yang tahu mana di antara amal ibadah kita yang akan menyelamatkan kita.


Jika memang amal yang terlihat remeh-temeh menurut kita tak perlu dikerjakan, lantas buat apakah Allah berfirman seperti di QS az-Zalzalah [99]:7? Buat apakah Imam Ghazali memberi nasihat agar jangan meremehkan amal sekecil apapun sehingga kita tidak melaksanakannya? Buat apa para ulama melakukan amal-amal yang tampak kecil sedangkan beliau-beliau senantiasa menunaikan ibadah-ibadah wajib dan sunnah secara istiqamah?


Dengan kenyataan ini, apakah kita masih meremehkan amal-amal yang terlihat kecil menurut kita?


Daftar Pustaka:

  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Muhammad bin Abu Bakar, asy-Syaikh, “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah”

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#