Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 27, 2011

Kok Bisa, Orang Shalat Digoda Setan? (2 of 2)

Hakikat dzikir tidak dapat meresap ke dalam hati kecuali jika hati itu telah disuburkan dengan ketakwaan dan dibersihkan dari sifat-sifat tercela. Dzikrullâh dapat menghalangi lintasan yang akan dilalui setan di dalam hati yang seperti ini. Jika tidak demikian, maka dzikir hanya merupakan bisikan jiwa yang tidak memiliki kekuatan apa-apa di dalam hati, sehingga tidak dapat mengusir setan.

إِنَّ ٱلَّذِيْنَ ٱتَّقَوْا إِذَا مَسَّـهُمْ طَـۤائِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطـٰنِ تَذَكَّرُوْا فَإِذَاهُمْ مُّبْصِرُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS al-A‘râf [7]: 201)

Ayat itu dikhususkan bagi orang yang bertakwa. Perumpamaan setan adalah seperti anjing lapar yang mendekati kita. Jika kita tidak membawa sepotong daging, maka ia akan segera pergi hanya dengan sekali hardikan saja. Hanya dengan suara ia bisa terusir. Tetapi, jika kita membawa sepotong daging, maka ia akan segera menerjang daging itu dan tidak dapat diusir hanya dengan hardikan.

Begitu pula jika hati kosong dari makanan setan, maka setan dapat terusir darinya hanya dengan dzikir. Tetapi jika syahwat telah mendominasi hati, maka hakikat dzikir akan tersingkir ke pinggir hati, sehingga tidak meresap ke lubuknya, lalu setanlah yang bersemayam di lubuk hati itu.

Adapun hati orang-orang yang bertakwa yang tidak terjangkiti hawa nafsu dan sifat-sifat tercela, maka setan datang kepadanya bukan karena terdapat banyak syahwat di situ, melainkan hati itu lupa berdzikir. Apabila ia kembali berdzikir, maka setan akan kabur. Tentang hal ini Allah berfirman:
فَاسْـتَعِذْ بِاللهِ مِنَ ٱلشَّيْطـٰنِ ٱلرَّجِيْمِ
Hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (QS an-Nahl [16]: 98)

Hadits tentang dzikir juga menjelaskan bahwa Allah-lah yang melindungi kita dari setan, namun hati harus bersih dulu dari makanan setan. Rasulullah bersabda:

مَا سَلَكَ عُمَرُ فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ الشَّيْطَانُ فَجًّا غَيْرَ الَّذِي سَلَكَهُ عُمَرُ
Umar tidak menempuh suatu lorong kecuali setan menempuh lorong lain yang tidak dilewati Umar. (HR Bukhari dan Muslim)

Kondisi di atas terjadi karena hati Umar bin Khaththab telah tersucikan dari makanan setan. Jika kita menginginkan agar setan menyingkir dari kita hanya dengan dzikir sebagaimana setan menyingkir dari Umar, tanpa usaha untuk menutup pintu-pintu setan; maka kita seperti orang yang ingin minum obat sebelum berpantang makanan, sedangkan perutnya masih sibuk mengunyah makan keras dan makanan lainnya yang justru memperparah penyakit yang diderita. Kita ibarat pasien yang dilarang oleh dokter untuk makan makanan yang akan memperberat sakit, tapi kita melanggarnya karena mengira obat saja cukup. Padahal obat itu hanya membantu, sedangkan intinya adalah tidak makan apa pun yang merusak tubuh.

Dzikir merupakan obat, sedangkan takwa adalah berpantang, yaitu mengosongkan hati dari berbagai syahwat. Apabila dzikir turun di hati yang kosong kecuali berisi dzikir semata, maka setan akan menyingkir, sebagaimana penyakit hilang dengan turunnya obat di dalam perut yang kosong dari makanan yang dilarang.

Jika kita membantu setan secara tidak langsung dengan amal perbuatan kita, maka kita adalah kawannya sekalipun kita berdzikir dengan lisan. Jika kita berkata bahwa hadits Nabi saw. menyebutkan secara mutlak bahwa hanya dengan berdzikir dapat mengusir setan, maka kita telah keliru memahaminya.

Itulah kenapa ketika kita shalat pun, hati kita bagai diseret-seret oleh setan ke mana-mana. Setan membawa kita berkeliling ke lembah-lembah dan jurang-jurang kebinasaan dunia, bahkan perkara-perkara dunia yang telah terlupakan dapat teringat kembali dalam shalat, misalnya lupa meletakkan kunci kendaraan, pengeluaran yang tidak tercatat, kehilangan dompet dan berbagai urusan dunia lainnya. Setan berdesakan di dalam hati karena kita mengijinkannya, sebab kita telah menjadi kawannya. Tidak mengherankan jika setan tidak lari dari kita, bahkan semakin menambah rasa was-was dalam diri. Na‘ûdzubillâh.

Tugas kita sebagai seorang mukmin adalah menjaga hati. Hati ibarat penguasa dari suatu kerajaan yang akan menghalau setiap musuh yang datang menyerang kerajaan jasadnya. Adapun iman dan ilmu adalah senjata dan perisai untuk menahan dan memukul musuh dari daerah kekuasaannya. Benteng yang kokoh ibarat batu karang di tengah samudera, tahan terhadap berbagai serbuan dan dobrakan.

Bila tidak dijaga, maka hati akan mati. Adapun di antara tanda-tanda hati yang mati ialah tidak ada rasa sedih apabila telah kehilangan kesempatan untuk melakukan taat kepada Allah, tidak juga menyesal atas perbuatan (kelalaian) yang telah dilakukannya. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ فىِ الْجَسَدِ مُضْغَةٌ اِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّـهُ وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُُلُّـهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, bila ia baik maka baik pula seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati. (HR Bukhari dan Muslim)

Demi diterimanya segenap pengabdian, marilah kita bersama-sama mengharap dan memohon kepada Allah:
اللَّهُمَّ تَقَبـَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَـنَا
Ya Allah, terimalah shalat dan puasa kami, amin.


Daftar Pustaka:
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Kok Bisa, Orang Shalat Digoda Setan? (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, May 20, 2011

Kok Bisa, Orang Shalat Digoda Setan? (1 of 2)

“Bagaimana mungkin orang shalat digoda setan, sehingga tidak bisa khusyu‘? Bukankah saat shalat kita membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan doa-doa? Apa setan tidak kepanasan (terbakar) saat kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an di dalam shalat?” Itulah daftar pertanyaan pada diri penulis ketika duduk di bangku sekolah menengah atas.

Tentang godaan setan ketika akan shalat, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّـيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قُضِيَ النِّدَاءُ أَقْبَلَ، حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِاالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتَّى إِذَا قُضِيَ التَّثْوِيْبُ أَقْبَلَ، حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ، يَقُوْلُ: اُذْكُرْ كَذَا، اُذْكُرْ كَذَا، لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِيْ كَمْ صَلَّى

“Ketika adzan dikumandangkan, setan lari terbirit-birit sambil buang angin sehingga dia tidak mendengar suara adzan. Ketika adzan telah selesai diperdengarkan, ia muncul lagi. Pada saat iqamah diperdengarkan, ia kembali lari terbirit-birit. Setelah iqamah selesai, ia muncul lagi dan membisikkan sesuatu ke dalam hati manusia (untuk mencegah manusia khusyu‘ dalam shalatnya) dan membuatnya teringat segala sesuatu apa yang tidak ia ingat ketika belum mengerjakan shalat dan menyebabkan ia lupa berapa banyak (rakaat) shalatnya.” (HR Bukhari)

Umumnya jawaban pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan di atas adalah, “Orang shalat bisa digoda setan karena setan yang menggoda lebih hebat ilmunya. Kalau kita ustadz, maka setan yang menggoda juga level ustadz. Kalau Kyai, ya setan Kyai, Profesor ya digoda setan Profesor, begitu juga dengan yang lain.”

“Tapi kan, kita membaca dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an. Berarti kalau kita membaca ta‘awwudz, mu‘awwidzatayn (al-falaq dan an-nâs) atau ayat kursi, tetap bisa digoda setan dong. Logikanya bagaimana?” tanya penulis lebih lanjut.

Dengan terus menuntut ilmu, penulis mengetahui bahwa al-Ghazali telah membahas pertanyaan penulis di atas. Syaikh Sa‘id Hawwa dalam bukunya “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa – Intisari Ihya ‘Ulumuddin” menjelaskan dengan gamblang jawaban pertanyaan tersebut, baik dari segi ilmu maupun akal. Ihya ‘Ulumuddin adalah kitab karya seorang ulama besar, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.

Sesungguhya setan memiliki andil dalam memengaruhi jiwa kecuali orang-orang yang dilindungi Allah dan ia datang ke dalam jiwa melalui celah-celah insting (watak serta tabiat), dan syahwat indrawi serta maknawi manusia. Ia sangat mengetahui titik-titik kelemahan manusia.

Hati ibarat benteng dan setan adalah musuh yang ingin memasuki dan menguasainya. Manusia tidak dapat melindungi benteng dari serangan musuh kecuali dengan menjaga benteng, pintu-pintu masuk serta celah-celahnya. Orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya, tidak mungkin dapat menjaganya. Oleh karena itu, mengetahui pintu-pintu masuk setan ke dalam jiwa manusia adalah sarana membentengi jiwa dan menyucikannya.

Mengusir setan tidak dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui pintu-pintu masuknya. Pintu-pintu masuk setan adalah sifat-sifat seorang hamba yang banyak jumlahnya. Adapun pintu-pintu besar yang menjadi jalan utama yang tidak pernah sempit karena banyaknya tentara setan adalah:


1. Marah dan syahwat
2. Dengki dan tamak
3. Banyak makan
4. Suka berhias dengan pakaian, perabotan dan rumah
5. Tamak terhadap manusia (menjilat)
6. Tergesa-gesa dan tidak berhati-hati dalam berbagai perkara

الْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالتَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ

Tergesa-gesa adalah dari setan, dan berhati-hati adalah dari Allah. (HR Tirmidzi) 7. (Terlalu) cinta pada harta 8. Pelit dan takut miskin Seorang teman bertanya, “Apa batasan sehingga seseorang dikatakan pelit? Bagaimana bila orang itu sebenarnya berhemat? Apa pula batasan dermawan? Bila seseorang senang menyumbang dalam jumlah banyak, hal itu baik atau boros?”

Al-Ghazali menjelaskan bahwa kewajiban dibagi menjadi dua. Pertama, wajib bisy-syar‘i, yaitu kewajiban yang ditetapkan syariat, misalnya membayar zakat, berkurban dan lain-lain. Kedua, wajib bil-murû‘ah wal-‘âdat, yaitu kewajiban menurut kebiasaan masyarakat, seperti membayar iuran atau memberikan sedekah yang pantas.

Orang yang tidak menunaikan salah satu dari dua kewajiban tersebut dikategorikan pelit. Tentunya, yang tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan syariat dikategorikan lebih pelit.

Tentang sesuatu yang menurut kebiasaan, misalnya belanja, sedekah, menjamu tamu atau yang lain, bagaimana batasan antara hemat, pelit, dermawan dan boros?

Para ulama menjelaskan, “Jika hawa nafsu cenderung padanya (menyukainya), maka tinggalkanlah.”

Jika kita bersedekah dengan jumlah yang cukup banyak sehingga kita merasa bahwa diri kita dermawan, apalagi bila mengharapkan ucapan terima kasih atau pujian, hal ini disebut boros. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli ibadah, “Apakah kalian mengira bahwa kedermawanan hanya terletak pada dirham dan dinar?”

Apabila kita berbelanja melebihi kebutuhan sehingga nafsu condong pada keinginan tersebut, hal ini digolongkan perbuatan boros. Tatkala kita menghemat pengeluaran, misalnya mengurangi uang jajan untuk anak, mengurangi membeli lauk—sampai batas dimana hawa nafsu kita cenderung padanya—maka sifat ini dikategorikan pelit.

Jika seseorang berkewajiban membayar zakat Rp 1.000.000,- tapi ia membayar Rp 2.000.000,- dengan tujuan bahwa kelebihannya untuk sedekah, sedangkan ia tidak mempunyai perasaan bahwa dirinya orang yang senang beramal, maka orang ini dikatakan dermawan (jawâd).

Dengan demikian, semuanya tergantung pribadi masing-masing, tidak bisa disama-ratakan.

Thalhah bin Abdillah ra. berkata, “Sesungguhnya kami juga sayang kepada harta yang kami miliki seperti sayangnya orang-orang pelit, akan tetapi kami berusaha sabar untuk memberikan harta itu kepada orang lain.”

Abdullah bin Amr ra. berkata, “Asy-Syuhha (kikir) lebih parah dibandingkan bakhil (pelit). Syuhha adalah selain kikir atas hartanya, juga kikir atas harta orang lain, yaitu ia tidak mau orang lain menikmati harta itu dan berkeinginan agar harta itu diberikan kepadanya. Bakhil adalah pelit atas hartanya sendiri.”
خَصْلَتَانِ لاَتَجْتَمِعَانِ فىِ مُؤْمِنٍ: اَلْبُخْلُ وَسُوْءُ الْخُلُقِ
Dua perkara yang tidak dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu pelit dan perangai buruk. (HR Tirmidzi)

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّهُ دَعَا مَنْ كَانَ قَبْلَـكُمْ فَسَفَكُوْا دِمَاءَهُمْ وَدَعَاهُمْ فَاسْتَحَلُّوْا مَحَارِمَهُمْ وَدَعَاهُمْ فَقَطَعُوْا أَرْحَامَهُمْ
Jauhilah sifat kikir, karena sifat ini telah mengajak umat-umat sebelum kamu sehinggga mereka saling menumpahkan darah, menodai kehormatan dan memutuskan silaturrahim. (HR Hakim)

9. (Terlalu) fanatik terhadap madzhab dan golongan
10. Mengajak orang awam untuk memikirkan Dzat Allah
11. Berprasangka buruk terhadap kaum muslimin

Allah SWT berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS al-Hujurât [49]: 12)

Itulah pintu-pintu besar setan yang harus kita jaga agar jangan tergelincir ke dalam rayuannya. Jika kita bertanya, “Bagaimana cara mengusir setan, apakah cukup dengan dzikrullâh (mengingat Allah) dan mengucapkan hawla walâ qûwata illâ billâh?”

Terapi hati dalam masalah ini adalah menutup pintu-pintu itu dengan cara membersihkan hati dari semua sifat yang tercela. Memang benar, setan masih memiliki berbagai lintasan di dalam hati, walaupun kita telah mencabut akar sifat-sifat tercela itu. Akan tetapi, ia tidak bisa menetap di dalamnya.


Daftar Pustaka:
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, May 13, 2011

Menulislah, Bagilah Ilmu! (2 of 2)

a. Mengapa lewat tulisan?


Lewat tulisan, serta ditunjang kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), coretan kita bisa dibaca oleh siapa pun di belahan bumi ini, bahkan mungkin suatu saat di luar angkasa. Lewat tulisan, yang kita sampaikan bisa dibaca banyak orang walaupun telah beralih generasi. Bukankah kitab-kitab yang ditulis ulama-ulama zaman dulu masih bisa dipelajari sampai sekarang?

Lewat tulisan, kalau kita sendiri lupa, maka dengan mudah membaca kembali ulasan yang pernah kita torehkan.

Lewat tulisan, bila suatu saat karena bertambahnya ilmu dan pengalaman kita mengetahui tulisan terdahulu ada yang kurang tepat, maka dengan segera bisa ditemukan tulisan tersebut lalu dirubah.

Namun, bagaimana dengan sebuah pesan berbunyi:
اَلْعِلْمُ فِي الصُّدُوْرِ لَيْسَ فِي السُّطُوْرِ
Ilmu itu ada di dada, bukan di tulisan.

Petuah bijak ini bukan melarang kita menulis. Pesan ini bermaksud agar ilmu kita tidak berhenti di buku/tulisan, tapi harus terimplementasikan (meresap ke dalam dada/sanubari) sehingga sudah menjadi perilaku. Pesan ini juga mempunyai pengertian agar kita menguasai betul ilmu yang dipelajari sehingga mampu membahasnya secara mendalam walau tak melihat catatan (bukan berarti tak perlu mencatat). Malah, ada juga yang membalik pesan tersebut menjadi:
اَلْعِلْمُ فِي السُّطُوْرِ لَيْسَ فِي الصُّدُوْرِ
Ilmu itu ada di tulisan, bukan (hanya) di dada (hapalan).

Nasihat ini mengandung maksud bila diterangkan guru, maka tulislah, jangan hanya menghapal uraian guru karena suatu saat bisa lupa.

Bukankah para sahabat diminta Rasulullah saw menulis saat beliau memberi pengajaran Al-Qur’an?

Bukankah dalam penyampaian hadits, Rasulullah saw juga meminta sahabat tertentu menulis?

Bukankah pada zaman Sahabat Abu Bakar ra. telah dimulai upaya pembukuan Al-Qur’an dalam satu mush-haf karena banyaknya sahabat yang hapal Al-Qur’an gugur di jalan Allah?

Bukankah hadits pun akhirnya dibukukan?

Entah apa jadinya bila tafsir Al-Qur’an yang dijelaskan banyak mufassir tidak ditulis.

Entah apa yang terjadi jika fiqh, fatwa ulama dan semua ilmu yang berkaitan dengannya tidak dibukukan.

Entah bagaimana perkembangan dunia kedokteran apabila para penemu di masa lalu tak mau menulis hasil penelitian mereka.

Entah bagaimana kelanjutan ilmu dan teknologi jikalau tak ada yang mau melakukan pendataan.


b. Bagaimana bila tak ada yang membaca tulisan kita?

Tidak mungkin tidak ada yang membaca tulisan kita. Minimal, kita sendirilah yang membacanya :). Apa itu tidak cukup?

Bukankah dengan menulis ilmu kita tak akan berkurang, justru semakin paham?

Bukankah dengan menulis kita juga mendapat tambahan ilmu dan pengalaman baru dalam hal tulis-menulis?

Bukankah yang penting kita sudah berniat ibadah membagi ilmu kepada sesama?

Bukankah setiap amal diganjar dari niatnya?
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amal tergantung niat dan Sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah menjadi niatnya. (Muttafaq ‘alayh)

Niat yang baik dan tulus saja sudah mendapat pahala, bagaimana pula bila ada yang membaca tulisan kita dan dengan perantaraan tersebut si pembaca menjadi paham serta semakin dekat kepada Allah.
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِيْنَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. (HR. Tirmidzi – hadits gharib shahih)

وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِهُدَاكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sekiranya Allah memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui perantaramu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah. (HR Abu Daud)

مَنْ كَتَبَ حَرْفًا مِنَ الْعِلْمِ لِرَجُلٍ فَكَأَنَّمَا تَصَدَّقَ بِدِينَارٍ

Siapa menulis satu huruf dari ilmu untuk seseorang, hal itu seperti bersedekah uang satu dinar. (HR Abu Muslim)


Hadits terakhir bersumber dari Sahabat Anas bin Malik. Walaupun lemah, tapi bisa digunakan untuk keutamaan amal. Demikian menurut al-Laits.


c. Di usia berapakah kita berbagi ilmu lewat tulisan?

Sejak diajari menulis dan mengarang, maka itulah saat kita bisa berbagi ilmu lewat media tulisan.

Di tingkat dasar (SD/MI), umumnya tergantung majalah dinding tempat para siswa/i berkreasi.

Di tingkat menengah (SMP/Tsanawiyah), mulai ada majalah sekolah hasil karya siswa/i yang dikelola OSIS.

Saat ini, media untuk menelurkan ide dalam bentuk tulisan semakin bervariasi. Teknologi telah merambah pelosok negeri. SMS, Chatting, blog, jejaring sosial, website atau apa pun bisa jadi alat/perantara untuk berbagi ilmu apa pun yang bermanfaat.

Akankah kita gunakan kemajuan teknologi hanya untuk bersenang-senang tanpa bisa memberi manfaat kepada orang lain?


Daftar Pustaka:

Tulisan ini lanjutan dari : Menulislah, Bagilah Ilmu! (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, May 6, 2011

Menulislah, Bagilah Ilmu! (1 of 2)

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR Thabrani)

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

“Ikatlah ilmu dengan buku/kitab.” (HR Qudha‘i)
“Ilmu bagaikan burung sedangkan buku adalah sangkarnya.”

“Cara jitu memahami sesuatu adalah dengan mengajarkan sesuatu itu kepada orang lain.”
إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
Sesungguhnya aku diutus menjadi pengajar/pendidik. (HR Darimi dan Ibnu Majah – hadits dha‘if)

Walaupun hadits tersebut dha‘if, tapi Rasulullah saw memang pendidik atau guru bagi para sahabat bahkan keseluruhan ummat Islam karena beliaulah yang mengajar dan membimbing kita menuju kebenaran.

Setiap kita bisa berbagi ilmu walaupun tidak menjadi guru formal yang memang setiap hari mengajar. Apalagi sekarang, teknologi berkembang, kebiasaan pun mengikutinya.

Website, blog, jejaring sosial, mailing list dan SMS adalah media untuk berbagi informasi. Kita bisa memanfaatkan media-media tersebut untuk berbagi ilmu, yang pasti bermanfaat untuk diri kita sendiri maupun sesama.

Sayangnya, seringkali kita hanya suka menulis komentar atau update status. Salahkah? Tidak ada yang salah, asalkan sesuai konvensi dan norma. Namun, mengapa jarang kita gunakan energi untuk menulis hal-hal lain yang lebih bermanfaat?

Menulis itu mudah, terbukti kita bisa menulis komentar atau status.

Menulis itu menyenangkan, terbukti kita sering menulis komentar atau status.

Menulis itu menarik pandangan, terbukti kita suka membaca komentar atau status.

Menulis itu melegakan pikiran karena semua unek-unek telah tertumpahkan.

Menulis sesuatu yang mengandung ilmu/pengetahuan tidak harus menggunakan bahasa kaku dan membosankan.

Seorang Guru Fisika di Sulawesi Barat meminta murid-muridnya membuat laporan praktikum dengan gaya bercerita bak sebuah novel.

Sebuah buku Teknologi Informasi yang pernah penulis baca menggunakan bahasa anak muda yang lagi tren.

Sebuah ebook tentang investasi (keuangan) menggunakan konsep berwisata sehingga terasa ringan dan renyah dibaca.

Para ulama pun banyak yang menulis kitab memakai bait-bait syair (nazham). Dengan demikian isi kitab berupa bait-bait syair, bukan kalimat-kalimat berita/narasi. Berikut ini contoh kitab yang dalam menguraikan pembahasan sang penulis merangkai bait-bait syair:
  1. Nahwu: ‘Imrîthiy (karya Syeikh Syarafuddin Yahya), Alfiyyah (karya Imam Ibnu Malik)
  2. Balaghah: Jauharul Maknûn (karya Syaikh Abdurrahman al-Akhdhori),‘Uqûdul Jumân (karya Imam as-Suyuthi)
  3. Fiqh: Zubad (karya Syeikh Ibnu Ruslan), Al-Farâidul Bahiyyah (karya Sayyid Abu Bakar al-Ahdali al-Yamani asy-Syafi’i), Manzhûmah Bulûghul Marâm (karya Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani)
  4. lmu hadits: Alfiyyah as-Suyûthiy fî ‘Ilmil Hadîts(karya Imam as-Suyuthi), Manzhûmah al-Bayqûniyyah (karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni)
  5. Qira’ah: Asy-Syâthibiyyah fil Qirâ’ati as-Sab‘i (karya Imam al-Qasim asy-Syathibi)
  6. ‘Ulumul Qur’an: Manzhûmah az-Zamzamy fit Tafsîr (karya Syaikh Abdul ‘Aziz)
  7. Tajwid: Hidâyatush Shibyân fî Tajwîdil Qur’ân (karya Syaikh Sa’id bin Sa’ad an-Nabhan)
  8. Tauhid: ‘Aqîdatul ‘Awâm (karya Syaikh as-Sayyid al-Marzuqiy)
  9. Sirah Nabawi: As-Sîrah an-Nabawiyyah Syi‘ran (karya Habib Umar bin Hafidh)


Penulis pernah berpikir, “Andaikan rumus-rumus Fisika, Kimia, Matematika, gramatika (grammar) Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan lainnya diajarkan melalui bait-bait syair seperti kitab Alfiyyah Ibnu Malik, alangkah menyenangkan dan mudah. Betapa hebat para ulama. Beliau-beliau telah memudahkan pengajaran berbagai disiplin ilmu lewat nazham sehingga lebih enak mempelajarinya.”

Daftar Pustaka:
  • Eko P. Pratomo, “Berwisata Ke Dunia Reksa Dana” – Halaman Edukasi Reksa Dana, Ebook
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • http://bataviase.co.id/node/574277, “Guru-Guru Kreatif”

Tulisan ini berlanjut ke : Menulislah, Bagilah Ilmu! (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#