b. Selamat dari Lisan dan Tangan
Sebagai bahan renungan, mari kita pahami
lagi sabda Rasulullah Muhammad saw berikut ini:
الْمُسْلِمُ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan
lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)
Apa yang dimaksud dengan
“selamat” di hadits tersebut?
Prof. Quraish Shihab menjelaskan
ada dua jenis selamat. Misal kita naik bis, kereta atau pesawat. Di samping
kita duduk orang lain. Orang yang duduk di samping kita dikatakan selamat dari
kita bila:
- Kita diam,
tidur atau membaca buku/koran/majalah sehingga tidak mengganggunya. Ini
disebut as-salâm as-salbiy (السّلام السلبي)
atau damai pasif.
Di buku “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2” beliau menguraikan bahwa damai pasif adalah
batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat
dan siksaan. Seorang muslim menyandang sifat damai, paling tidak, jika dia
benar-benar tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya maka jangan sampai dia
mencelakakannya. Kalau tidak bisa memberi, maka paling tidak tidak mengambil
hak orang lain. Kalau tidak dapat menggembirakan pihak lain, maka paling tidak
tidak meresahkannya.
Atau yang lebih baik lagi:
- Kita sapa orang
tersebut lalu berbincang ramah. Ini disebut as-salâm al-îjâbiy (السّلام الإيجابي)
atau damai aktif, lalu mencapai puncaknya dengan ihsân.
Nah, Apakah berkelahi, adu
otot, adu jotos, saling tendang, hajar-menghajar atau tawuran sesuai dengan
definisi “selamat”? Tentu tidak, bukan?
Suatu hari datang seorang
laki-laki kepada Sahabat Salman al-Farisi ra. seraya berkata,
“Wahai hamba Allah,
nasihatilah aku!”
“Jangan marah!” Jawab Salman
al-Farisi ra.
“Aku tidak mampu.”
“Bila kamu marah, tahanlah
lidahmu (dari mengatakan hal-hal jelek) dan tanganmu (dari melakukan perbuatan maksiat).”
Ada sebuah pertanyaan yang
terdengar agak aneh sekaligus “lucu” dilontarkan sehubungan dengan hadits di
atas. Begini pertanyaannya, “Di hadits tersebut kan disebutkan sesama muslim.
Berarti kalau non muslim, boleh dong kita hajar?”
Mungkin karena belum pernah
belajar ushul fiqh sehingga pertanyaan tersebut terlontar akibat permainan kata
dan logika. Mari kita bahas demi pemahaman keagamaan yang benar.
Pertanyaan tersebut termasuk
kategori mafhûm mukhâlafah dan mafhûm mukhâlafah seperti ini keliru.
Apa
itu mafhûm mukhâlafah? Bagaimana mafhûm mukhâlafah yang benar?
Di buku “Ushul Fiqih” Prof. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama
ahli ushul fiqh mendefinisikan dilâlah mafhûm al-mukhâlafah sebagai
berikut:
“Dilâlah mafhûm al-mukhâlafah ialah menetapkan
kebalikan dari hukum yang disebut (manthûq) lantaran tidak adanya
suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut
nashnya. Dengan demikian suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum,
yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi lafazh (manthûq) suatu nash dan
hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan
pada hukum halal dengan adanya batasan (qayd), maka nash
tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan bila qayd-nya tidak ada.
Seperti firman Allah:
وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka)
yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. (QS an-Nisâ’ [4]: 25)
Bunyi (manthûq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan
bagi seorang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita merdeka.
Ayat tersebut juga
dapat dipahami kebalikan (mafhûm mukhâlafah) dari bunyinya
yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya bila ia mampu
menikah dengan wanita merdeka.”
Sebagai
catatan tambahan, manthûq adalah hukum yang ditunjukkan oleh ucapan
lafazh itu sendiri. Adapun mafhûm ialah hukum yang tidak
ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap
ucapan lafazh tersebut.
Itulah definisi mafhûm mukhâlafah. Lantas, bagaimana
mafhûm mukhâlafah yang benar? Di
buku “Usul Fiqih” A. Hanafie, MA menjelaskan bahwa untuk sahnya mafhûm mukhâlafah diperlukan
empat syarat, yaitu:
- Mafhûm mukhâlafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq maupun mafhûm muwâfaqah.
Contoh yang berlawanan
dengan dalil manthûq:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS al-Isrâ’ [17]: 31)
Mafhûm mukhâlafah-nya kalau
bukan karena takut kemiskinan berarti boleh dibunuh. Tetapi mafhûm mukhâlafah ini
bertentangan dengan dalil manthûq:
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. (QS al-Isrâ’ [17]: 33)
Adapun conton yang berlawanan dengan mafhûm muwâfaqah sebagai
berikut:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka (QS
al-Isrâ’ [17]: 23)
Yang disebutkan hanya kata-kata kasar. Mafhûm mukhâlafah-nya berarti
boleh memukuli. Tapi, mafhûm mukhâlafah ini
bertentangan dengan mafhûm muwâfaqah-nya, yaitu kata-kata
keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
- Yang disebutkan
(manthûq) bukan suatu hal
yang biasa terjadi.
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
Dan anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (QS an-Nisâ’ [4]: 23)
Dengan perkataan “yang dalam
pemeliharaanmu”, tidak boleh dipahami bahwa yang tidak dalam pemeliharaan
boleh dinikahi. Perkataan itu disebutkan sebab biasanya anak tiri dipelihara
ayah tiri karena mengikuti ibunya.
- Yang disebutkan
(manthûq) bukan dimaksudkan
untuk menguatkan suatu keadaan.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
Seorang muslim ialah seseorang
dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)
Dengan perkataan “muslim
lainnya” tidak boleh dipahami bahwa orang-orang non muslim boleh
diganggu. Perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan
damai di antara orang-orang Islam sendiri.
Selain itu, sekian banyak dalil menjelaskan bahwa
kita harus berakhlak baik kepada siapa pun, menjadi rahmat bagi segenap alam,
toleransi antar sesama dan sebagainya.
Penjelasan ini adalah jawaban pertanyaan yang
sedang kita bahas.
- Yang disebutkan
(manthûq) harus berdiri
sendiri, tidak mengikuti yang lain.
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf
dalam mesjid. (QS al-Baqarah [2]: 187)
Tidak boleh dipahami kalau tidak i’tikaf di masjid
boleh mencampuri, karena syarat melakukan i’tikaf adalah di masjid, kalau tidak
di masjid i’tikaf tidak sah.
Jadi, perkataan i’tikaf dikumpulkan dengan
perkataan masjid, karena masjid ini menjadi syaratnya.
Demikianlah uraian ringkas
tentang mafhûm mukhâlafah. Semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita
semua sehingga bisa menjadi hamba shaleh, amin.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
A. Hanafie, MA, “Usul Fiqh”, Penerbit Widjaya Jakarta,
Cetakan kesebelas, 1989
Mario Teguh,
“One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit
Progressio, November 2006
Muhammad Abu Zahrah, Prof, “Ushul Fiqih”, Pustaka Firdaus, Cetakan kesebelas,
Mei 2008
M. Quraish Shihab, Dr, “Membumikan Al-Qur’an
Jilid 2—Memfungsikan Wahyu
dalam Kehidupan”,
Penerbit Lentera Hati, Cetakan VI: Shafar 1432/Januari 2011
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Web
site:
0 comments:
Post a Comment